Kopi TIMES

Islam Nusantara: Islam With a Smiling Face

Kamis, 12 Januari 2017 - 06:07 | 152.84k
ILUSTRASI: Islam Nusantara (Grafis: TIMES Indonesia)
ILUSTRASI: Islam Nusantara (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – “Kita adalah orang Indonesia yang beragama Islam, bukan (hanya) oranIslam yang tinggal di Indonesia” (Gus Dur).

Islam adalah pedoman hidup bagi seluruh umat manusia. Islam datang dari Tuhan melalui utusannya, Nabi Muhammad SAW.

Islam, mula-mula hadir untuk mengislamkan bangsa Arab, namun kemudian—idealnya—ia menjadi petunjuk dan rahmat bagi semesta raya: Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, bukan hanya rahmatan lil muslimin!

Karenanya, universalitas Islam tak lagi perlu dipertanyakan, sebab ia bukan monopoli suatu suku, daerah, bangsa atau negara tertentu saja.

Dalam pada itu, Islam berikut ajaran kebaikan universalnya tidak lahir pada semesta yang hampa, kelahirannya dibidani oleh Nabi Saw. dalam budaya, kondisi, lingkup masyarakat, yang secara teritorial berada di Arab.

Karenanya proses pertalian antara ajaran Islam dan budaya Arab tak mungkin dihindari. Hanya saja, yang perlu digarisbawahi adalah meskipun Nabi SAW adalah orang Arab dan kitab Al Quran kita berbahasa Arab, tidak berarti setiap yang berbau arab itu sakral, suci dan pasti positif.

Karenanya, proses seleksi ajaran Islam yang bersifat substansial dan aksidental perlu ditekankan, sehingga kita bisa membedakan antara hal yang bersifat Islami dan (atau) Arabisasi.

Islam Nusantara: Islam Kita

Nomenklatur (penamaan) dan gagasan tentang Islam Nusantara mungkin terkesan sebagai hal baru dalam wacana kita. Terhitung sejak 2012 lalu, wacana ini mulia ramai diperbincangkan media, terutama pasca dibukanya Pascasarjana Kajian Islam Nusantara di UNU Jakarta.

Meskipun gagasan ini lahir dari NU, dengan Prof Dr KH Said Aqil Siraj sebagai penggagasnya, namun spirit dan perjuangan Islam Nusantara dipersembahkan untuk peradaban Indonesia, khususnya, dan dunia, sebagai objek yang lebih universal.

Ide Islam Nusantara sendiri sebenarnya begitu bersahaja. Bertolak dari ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai manhajul hayah wal fikr (kurikulum hidup dan metode berpikir), dengan basis pada sikap mulia berupa tawassuth (moderat), tawazun (seimbang), tasamuh (toleran) dan i’tidal (berpihak pada kebenaran).

Maka dari dasar pemikiran tersebut, Islam Nusantara diharapkan senantiasa bisa bersinergi dengan realitas dan fakta sosial yang selalu mengerut dan berdenyut dalam lipatan waktu pada tiap episode kehidupan.

Dan dalam konteks yang lebih luas, agar Islam kita dikenal—meminjam istilah majalah internasional Newsweek—sebagai “Islam with a smiling face.”

Konsekuensi logis lain dari dasar pemikiran di atas adalah penghargaan terhadap local wisdom atau tradisi yang ada. Sebagaimana Nabi Saw. begitu cinta terhadap bangsanya, maka tentu menjadi keharusan untuk kita mencintai bangsa dan negara kita.

Islam Nusantara mengerti dan mengajarkan yang demikian, bahkan hal ini ditunjukkan dengan penamaan “Islam Nusantara” itu sendiri, kita tidak menyebutnya sebagai “Islam Indonesia.”

Secara historis, nama Indonesia pertama kali digunakan oleh James Richardson Logan (w. 1869) dalam kumpulan karangannya yang berjudul The Indian Archipelago. Kemudian nama ini dipopulerkan oleh Prof Adolf Bastian (W. 1905) dengan sebuah bukunya: Indonesian oder die Inseln des Malayachen Archipelago.

Namun berbeda dengan kata “Nusantara” yang sudah dikenal sejak abad ke 14 M, oleh Mpu Prapanca (w. 1365). Selain kata ini lebih tua, ia juga memiliki nuansa budaya yang lebih kental, bahkan, seperti disebut oleh para sejarawan, konsepsi Pancasila telah termaktub dalam kitab tersebut—secara tersirat. Inilah penghargaan Islam Nusantara terhadap budaya dan tradisi.

Mengutip pendapat Gus Dur, “Inti dari pribumisasi (menghadirkan Islam dengan menghargai tradisi yang ada) adalah kebutuhan, bukan menghindari polarisasi antara agama dan budaya, sebab polarisasi demikian memang tak terhindarkan.”

Sebab itu, titik tolak dari upaya menghargai budaya yang ada alah agar wahyu dipahami dengan mempertimbangkan konteks, termasuk kesadaran hukum dan rasa keadilan. Jadi, dalam prosesnya, pembauran antara Islam dan agama tetap tidak boleh terjadi, sebab berbaur berarti hilangnya sifat-sifat asli.

Islam harus tetap pada sifat islaminya. Al-Quran dengan bahasa Arab, terutama dalam shalat, sebab hal ini merupakan norma. Sedang terjemah al-Quran dimaksudkan untuk mempermudah pemahaman, bukan menggantikannya.

Maka dari itu, lagi-lagi kita harus membekali pemahaman diri kita dengan alat deteksi sesuatu yang substansi dalam agama atau hal-hal yang bersifat aksidental semata.(*)

*Penulis adalah Achmad Khoirun Nafis, yang kini sedang nyantri di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Al-Farabi Malang.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Ahmad Sukmana

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES