Kopi TIMES

Perempuan dan Hegemoni ‘Kekuasaan’ Negara

Kamis, 12 Januari 2017 - 08:15 | 246.79k
ILUSTRASI: Perempuan dan Hegemoni (Grafis: TIMES Indonesia)
ILUSTRASI: Perempuan dan Hegemoni (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Dalam kehidupan sehari-hari, negara adalah sebuah realitas politik yang nyaris diterima sebagai suatu pemberian. Kecenderungan ini terjadi karena negara yang diketahui dan dialami setiap hari itu seakan berada di luar kesadaran manusia.

Pada tingkat individual, negara baru dirasakan keberadaannya manakala ia berbenturan dengan kekuasaan. Ada sebuah realitas kekuasaan di luar dirinya, yang berada pada atmosfer publik, namun cukup berpengaruh terhadap kehidupannya sehari-hari.

Dari kekuasaan dan legitimasi dalam wacana politik, kenyataan itu kita sebut sebagai realitas kekuasaan negara dalam masyarakat.

Sementara, Indonesi dalam kondisi sekarang ini banyak persoalan yang seakan ini menjadi bola salju bagi penguasa Negara dalam melakukan hegemoni terhadap setiap kebijakan yang diberikan terhadap masyarakat.

Konsep Hegemoni

Terdapat tiga istilah berbeda dalam formasi yang membentuk landasan konsep hegemoni yaitu perekonomian, negara, dan masyarakat sipil. Perekonomian merupakan istilah yang digunakan untuk mendefinisikan bentuk dominan produksi dalam suatu wilayah pada suatu waktu.

Perekonomian ini terdiri dari sarana teknis produksi dan hubungan-hubungan sosial produksi yang dibangun berdasarkan suatu pembedaan dalam kelas-kelas yang dikaitkan dengan kepemilikan sarana produksi, baik sebagai pemilik substansial atau sebagai orang yang dipekerjakan dalam organisasi yang berkaitan dengan produksi.

Negara’ terdiri atas sarana kekerasan (polisi dan militer) dan suatu wilayah tertentu, bersama dengan berbagai birokrasi yang didanai oleh Negara (pamong praja atau lembaga pemerintah, berbagai lembaga hukum, kesejahteraan dan pendidikan).

“Masyarakat sipil dapat didefinisikan sebagai wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan diantaranya bercirikan kesukarelaan, keswasembadaan, keswadayaan dan kemandirian tinggi berhadapan dengan Negara, serta keterkaitannya dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti warganya.

Dari definisi ini masyarakt sipil berwujud dalam berbagai organisasi yang dibuat oleh masyarakat di luar pengaruh negara.

Sementara, lembaga swadaya masyarakat, organisasi sosial keagamaan, paguyuban dan juga kelompok-kelompok kepentingan merupakan wujud dari kelembagaan masyarakat sipil.

Konsep hegemoni dikemukakan oleh Gramsci. Ia menggunakan atau memakai konsep hegemoni untuk mendeskripsikan dan menganalisis bagaimana masyarakat kapitalis modern diorganisasikan pada masa lalu dan masa kini.

Terdapat semacam kebingungan disini tentang konsep-konsep yang dilibatkan, karena Gramsci tampaknya terlebih dahulu membedakan konsep negara dengan masyarakat sipil.

Negara didefinisikan sebagai sumber kekuasaan koersif dalam suatu masyarakat,  sementara masyarakat sipil didefinisikan sebagai lokasi kepemimpinan hegemoni.

Gramsci kemudian menghubungkan kedua konsep ini untuk mendefinisikan apa yang dia sebut sebagai ‘negara integral’ sebagai kombinasi hegemoni yang dilengkapi dengan kekuasaan koersif

Indonesia Dan Hegemoni

Untuk realitas politik Indonesia sendiri, seringkali kita menyaksikan teori Gramsci diadaptasi baik untuk menjelaskan secara kritis fenomena dominasi ideologi yang diproduksi oleh Negara Orde Baru dan masa setelahnya (era reformasi) untuk melegitimasi kekuasaan atas politik, sosial dan budaya, maupun sebagai pola strategi perubahan sosial yang dilancarkan oleh kelompok politik pinggiran maupun Lembaga Swadaya Masyarakat yang berhaluan transformatif.

Namun, sayangnya, teori ini justru sering mengalami reduksi, karena pola strategi dan taktik yang dilakukan sering mengalami jalan buntu, karena ia tidak berdasarkan kondisi objektif Indonesia, dimana alur problem kelas sosial serta kontradiksinya berbeda dengan kondisi Italia dan negara-negara Eropa lainnya.

Di Indonesia, dapatlah dikatakan, fenomena kekuasaan di negeri ini tidaklah dalam bentuk hegemoni Gramscian, dimana masyarakat memberikan persetujuannya kepada penguasa untuk berkuasa. Idealnya, dalam konsepsi Gramscian, penguasa memenangkan hegemoni total, tanpa harus menggunakan kekerasan.

Akan tetapi, yang terjadi saat ini, karena pluralitas masyarakat di Indonesia, penguasa sangat sedikit mendapatkan persetujuan total (atau hegemoni total tanpa dominasi atas masyarakat).

Negara Orde Baru justru lebih mengedepankan dominasi, yang berarti penggunaan aparatus koersif untuk penegakkan hegemoni. Ini dapat terbaca melalui pola tindakan yang diambil terhadap masyarakat apabila mereka melakukan oposisi politik secara terbuka.

Para buruh, mahasiswa dan intelektual lebih sering berhadapan secara frontal dengan aparat kekerasan negara seperti militer, polisi dan penjara dalam setiap kali menyuarakan pendapat yang beroposisi dengan hegemoni politik penguasa.

Perempuan dan Hegemoni Negara

Menurut Ita F Nadia (Komisi Nasional Anti kekerasan Perempuan) bahwa seluruh tindak kekerasan dalam masyarakat khususnya perempuan tak lepas dari berbagai kebijakan negara-negara yang secara simbolis (melalui utang dan ketergantungan bentuan dari lembaga multilateral) telah menggadaikan kedaulatannya.

Di sinilah justru negara memiliki peran eksploitatif dan hegemonik terhadap posisi perempuan yang tidak menguntungkan itu. Tapi pada saat yang sama sebenarnya negara juga memiliki peran melakukan transformasi sosial perempuan dengan mengubah sikap dan pandangan ideologisnya, sehingga perempuan menjadi bagian dari komunitas sosial yang penting di tengah-tengah percaturan global-dunia.

Pemimpin negara tidak hanya sekadar mampu melakukan transformasi sosial-perempuan, melainkan wajib melakukan itu sebagai bentuk komitmennya terhadap warga-bangsa dan penegakan nilai-nilai keadilan serta demokratisasi.

Sistem politik Orde Baru di desain sedemikian rupa agar gerakan perempuan terkondisikan dalam kesadaran palsunya. Pemerintah Orba menggunakan instrumen lembaga negara untuk memasukan nilai dan budaya patriarki kepada perempuan, hal ini digunakan agar perempuan patuh terhadap aturan-aturan untuk mendomestikan perempuan ke ranah privat (keluarga), serta menjauhi kegiatan politik yang membahayakan rezim.

Dengan dipilihnya Dharma Wanita dan PKK menjadi penyambung kepentingan politik pemerintah, maka dengan sendirinya rezim akan lebih mudah untuk mengatasi konflik dan memastikan agar kekuasaannya tetap aman terkendali. Dalam teori hegemoni, Antonio Gramsci melihat bahwa penundukan atas struktur sosial dan politik dengan menggunakan basis superstruktur (dalam hal ini pemerintah) mempunyai kepentingan langsung untuk menyingkirkan musuh-musuh politik yang berbahaya bagi kelas penguasa.

Penginternalisasian nilai dan budaya dari penguasa kepada yang dikuasai, menyebabkan masyarakat/individu terjebak dalam logika penguasa dan cara bermain yang sudah diatur sebelumnya.

Pengkondisian ini mempunyai fungsi sebagai alat pengontrol yang bertujuan agar masyarakat tetap patuh dan takut. Bentuk kekerasan simbol, dan intimidasi secara koersif merupakan instrumen kekuasaan yang berusaha menakut-nakuti masyarakat/individu untuk tidak melakukan perlawanan terhadap rezim.

Akan tetapi setelah Pasca-Reformasi gerakan perempuan berusaha untuk keluar dari aturan dan dogma yang dibuat oleh Orde baru. Hal ini ditandai dengan semakin banyaknya organisasi gerakan perempuan non-pemerintah yang berdiri dan melakukan kegiatan advokasi masyarakat, maupun melakukan kegiatan edukasi terhadap pentingnya partisipasi politik bagi perempuan.

Gerakan Perempuan juga semakin menguat di Indonesia, hal ini menjadi kekuatan bagi perempuan agar tidak dipandang sebelah mata secara politik, dan membuktikan bahwa perempuan juga ambil bagian dalam proses demokratisasi. Gramsci sendiri menyebutkan bahwa satu-satunya cara untuk melawan hegemoni penguasa adalah melakukan “Counter Hegemoni”.

Pembebasan perempuan dari suboordinasi sistem patriarki, hanya bisa dilakukan oleh perempuan itu sendiri. Oleh sebab itu, dengan menguatnya gerakan perempuan ataupun gerakan sosial yang lain dalam menawarkan alternatif pemikiran dan politik yang berbeda dengan arus pemikiran Orde Baru, maka pertarungan hegemoni ini akan tergantung kepada seberapa kuat pihak-pihak yang saling berhadapan itu mampu memenangkan kepercayaan masyarakat.

Pembebasan perempuan memang bukanlah sesuatu hal yang mudah, namun kita harus percaya bahwa kesadaran membutuhkan peristiwa dan pengalaman historis tertentu.

Kesadaran tidak datang dengan sendirinya, ia di bentuk oleh situasi dan kondisi tertentu, dan gerakan perempuan telah mendapatkan kesadarannya untuk melakukan perlawanan terhadap penguasa.

Walaupun masih ada banyak kekurangan terkait gerakan perempuan, namun kalau tidak bergerak sekarang, kapan lagi? Sebuah kesetaraan social/politik antara laki-laki dan perempuan bukanlah hal yang utopis belaka, namun sesuatu yang mungkin dan akan terjadi. Karena tidak ada hal yang tidak mungkin di dunia ini, kita harus mencoba untuk mengetahui hasilnya, kata Napoleon Bonaparte. (*)

*Penulis adalah Yudi Rafianti Makatita, Mahasiswa Akuntansi yang sekarang menjabat Ketua Umum Kohati Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Ekomoni UMM

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Ahmad Sukmana

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES