Kopi TIMES Republik Netizen

Tsunami Media Sosial dalam Prespektif Hukum

Sabtu, 07 Januari 2017 - 18:00 | 243.86k
Kapolres Malang AKBP Yade Setiawan Ujung, SH, SIK, MSi. (Foto: TIMES Indonesia)
Kapolres Malang AKBP Yade Setiawan Ujung, SH, SIK, MSi. (Foto: TIMES Indonesia)
FOKUS

Republik Netizen

TIMESINDONESIA, JAKARTABILA kita merefleksi kembali bagaimana terbentuknya negara Indonesia, yang besar dan kuat, hal itu tak bisa terlepas dari kebhinekaannya yang dimilik ‘merah putih’, yakni Republik Indonesia.

Hal itu bisa dilihat dari adanya common enemy (musuh bersama) yaitu pada saat mengalami masa penjajahan Belanda, Inggris, Portugis dan terakhir Jepang serta saat rakyat Indonesia dihadapkan dengan masa pemberontakan PKI, DI/TII, Kahar Muzakar, PRRI, dan Permesta.

Selanjutnya adalah adanya common interest (kepentingan bersama) pada saat berjuang merebut kemerdekaan melalui gerakan Budi Oetomo 1908, Sumpah Pemuda 1928, sampai pada proklamasi kemerdekaan 1945 serta perjuangan mempertahankan kemerdekaan NKRI melalui semangat nasionalisme.

Dalam sejarah itu, kemajemukan NKRI yang beranekaragam suku, ras, adat, budaya, agama, pulau dan bahasa sangat kuat diikat oleh 4 pilar negara, yaitu Pancasila, NKRI, UUD 1945 serta Bhinneka Tunggal Ika.

Namun, dalam perjalanan kehidupan berbangsa kita, tantangan untuk menjaga keutuhan bangsa yang terfokus pada upaya mempertahankan pilar kebhinnekaan indonesia, justru menghadapi tantangan yang maha dahsyat.

Beberapa faktor yang mempengaruhi hal ini adalah sebagai berikut: Pertama, dalam struktur global, pesatnya perkembangan inovasi dan teknologi informasi telah merekayasa dunia ke dalam bentuk single geostrategic space (wilayah geostrategis tunggal).

Dampaknya, proses integrasi menjadi tidak lagi terkendali, sekat-sekat identitas budaya, nilai-nilai bangsa menjadi terbuka lebar, memudar dan pada gilirannya melemahkan semangat nasionalisme, patriotisme dan kebangsaan.

Indonesia terancam kehilangan persatuan, kemajemukan indonesia seakan-akan bukan lagi sebagai kekuatan, namun justru menjadi alat penghancur yang memecah belah rakyat.

Kedua, dalam struktur politik, sistem demokrasi yang seharusnya dipakai sebagai sistem dan cara untuk mencapai tujuan berbangsa yang madani, justru sulit mencapai kesempurnaan seperti konsep idealnya.

Samuel p. Huntington menyebutkan untuk mengetahui wajah atau bentuk sebuah masyarakat atau peradaban, alat tes yang akurat adalah demokrasi, karena dengan demokrasi akan benar-benar terlihat watak masyarakat tersebut.

Dalam bukunya, Francis Fukuyama (1992) berjudul "The end of History and the Last Man" menyebutkan, bahwa akhir sejarah konflik ideologi akan berakhir pada sebuah titik, yaitu demokrasi liberal.

Tidak ada peradaban dunia manapun juga yang bisa menghalangi badai demokrasi liberal. Turbulensi demokrasi liberal juga berdampak pada munculnya fenomena anarchy dalam konstelasi politik internasional dunia.

Bukan berarti anarkis atau tindak kekerasan, tetapi merupakan suatu kondisi absence of authority, hadirnya absolute freedom, serta munculnya social disorder because the lack of authority.

Demokrasi liberal dan kapitalisme tidak bisa dihindari namun harus kita hadapi. Secara positif, demokrasi menghadirkan sistem check and balance serta menguatkan peran rakyat.

Namun, dampak negatifnya, demokrasi memicu penguatan primordialisme, disintegrasi dan kebebasan yang kebablasan, tidak terkontrol, seringkali melampaui batas kebebasan yang tidak bertanggungjawab karena melanggar hak-hak yang dimiliki orang lain.

Ketiga, dalam struktur ekonomi, masyarakat Indonesia masih didominasi oleh low class (dibuktikan dengan gini ratio Indonesia pada tahun 2016 sebesar 0,4).

Padahal harapan terhadap penguasaan dan pengelolaan sumber ekonomi Nusantara sangat diharapkan mampu memperbaiki kesejahteraan, paling tidak mengangkat masyarakat Indonesia naik level menjadi middle class. Ketimpangan realitas dan harapan ini memicu rasa ketidakadilan yang juga berpotensi memecah belah masyarakat.

Samuel P Huntington menyebutkan "The Image of Limited Good Theory: Ada pihak yang termarginalisasi (merasa dirugikan) akibat perpindahan penguasaan sumber daya kepada satu kelompok saja.

Dalam situasi tersebut, maka Kebhinnekaan semakin terusik, karena SARA semakin memudahkan polarisasi pembentukan kelompok sosial untuk memperebutkan sumber daya kehidupan.

Keempat, dalam struktur antropologi sosial, sejarah peradaban agama besar di indonesia, dimulai dari peradaban hindu-budha (era kerajaan majapahit), peradaban islam nusantara (era kerajaan sriwijaya), dan peradaban kahtolik dan protestan (era penjajahan bangsa eropa Belanda-Portugis), telah membentuk pengelompokan masyarakat dalam suatu kawasan berdasarkan agama tertentu atau dikenal dengan gugus pulau enclaves.

Inilah yang direkat dan diikat dengan Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika saat kemerdekaan NKRI. Namun, demokrasi yang kehilangan arah lagi-lagi telah mendorong keadaan anomi dan anomali, dimana berbagai atribut enclaves/kelompok seperti suku, agama, ras, golongan, budaya, ataupun simbol penting lainnya justru diaktifkan sebagai social power dan sarana untuk berkonflik.

Sungguh tidak dapat dibayangkan betapa, seram dan mencekamnya konflik ataupun perang saudara melanda negara kita, dan hanya kita semua yang mampu menjawab adanya potensi ancaman ini.

Kita mesti bersyukur, karena indonesia yang hidup dalam kemajemukan, seperti berbeda warna kulit, suku, agama, ras dan golongan, serta memiliki 800 rumpun bahasa, alhamdullilah masih bisa bersatu.

Salah satu senjata utama yang dapat digunakan untuk memecah belah dan menghancurkan bangsa indonesia, adalah pemanfaatan kecanggihan teknologi secara negatif dan destruktif.

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi terjadi secara cepat dalam hitungan detik, dan perubahan itu menciptakan perubahan pola pikir masyarakat.

Saat ini, seluruh dunia menyongsong kebangkitan era informasi digital, namun indonesia justru didorong pada situasi yang darurat informasi.

Indonesia mendapatkan ancaman yang luar biasa, proxy war melalui cyber war telah terasa nyata, informasi di segala lini telah membanjiri masyarakat. Ironisnya, banyaknya informasi yang memiliki kecenderungan negatif.

Hal sangat wajar jika dikata "Indonesia sudah mengalami "Tsunami Media Sosial". Lalu seperti apa perspektif Hukum melihat hal tersebut?

Diketahui, betapa efek Medsos sebagai perwujudan kecanggihan teknologi, dapat memberikan efek negatif yang sangat besar bila penggunaannya tidak dilakukan secara bertanggungjawab.

Efek negatif tersebut dapat berupa: mereduksi budaya masyarakat. Menaikkan tingkat kenakalan. Ikut menyumbang kerusakan moral secara umum dan bahkan bahkan dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu.

Di Indonesia, fenomena cyber bulliying, hate speech sangat masif terdeteksi di media sosial bahkan tidak ada "penyaringnya". Aksi provokasi juga semakin gencar sehingga semakin menambah kebencian terhadap pemerintah, termasuk juga terhadap Polri yang dianggap tidak profesional dalam proses hukum. Jika media massa dan televisi masih bisa dikontrol oleh pemilik media, redaktur, koordinator liputan, reporter lapangan.

Namun berbeda halnya dengan fenomena medsos, tidak satupun ada yang dapat melakukan kontrol. Ini yang berbahaya, liar dan membuat pengguna mendsos menjadi sensitif dan mudah terprovokasi.

Gelombang tsunami medsos dapat kita analisis sebagai berikut: Pertama, asal gelombangnya tidak lain dan tidak bukan adalah kecanggihan teknologi.

Hasil cyber crime study oleh UNODC/United Nations Office On Drugs And Crime (2014), menyatakan bahwa pada tahun 2011, sekitar 2,3 miliar manusia sudah memiliki akses internet, dan 60 persen diantaranya berada di negara berkembang.

Kemudian pada tahun tahun 2017, diperkirakan 70 persen penduduk di dunia akan terkoneksi melalui telepon seluler, sehingga akses internet semakin terbuka lebar.

Indonesia sendiri memiliki 326 juta pengguna telepon seluler karena (satu orang memiliki dua atau lebih perangkat telepon seluler).

Data dari wearesocial.org dan APJI menyebutkan, bahwa jumlah penduduk di Indonesia saat ini adalah 259 juta jiwa, 132 juta diantaranya merupakan pengguna aktif internet dan 106 diantaranya juta pengguna media sosial aktif.

Selanjutnya, data yang dikeluarkan Dewan Pers menyebutkan, ada ratusan perusahaan pers, puluhan organisasi pers, dan lebih dari 50.000 wartawan di indonesia, dengan ratusan juta masyarakat Indonesia yang menjadi konsumen berita pers.

Kedua, kemampuan gelombang sebagai penghantar gaya/tenaga mengilustrasikan bahwa teknologi medsos dapat menjadi media penghantar yang sangat baik, sehingga seringkali dimanfaatkan kepentingan berbagai pihak yang tidak bertanggungjawab.

terbukti dari data ID-SIRTII-Indonesia Security Incident Response Team on Internet Infrastructure bahwa tahun 2016, total serangan sampai dengan bulan Juni 2016 adalah sebanyak 90 juta kali.

Dari data Litbang TIMES Indonesia menyebutkan bahwa 95 persen pengakses media sosial di Indonesia lebih banyak share hal negatif atau hoax.

Data Kemenkominfo mengidentifikasi terdapat 800 ribu situs yang menyebarkan hoax melalui internet. Cyber Bullying Indonesia tertinggi kedua di dunia setelah Jepang (sumber: survei global-latitudenews). Google mencatat, sebanyak 82 persen konten informasi untuk Indonesia cenderung negatif (sumber: Litbang TIMES Indonesia).

Ketiga, dampak gelombangnya adalah kerusakan, baik berupa timbulnya kejahatan, aksi anarkis, pengerusakan dan lain sebagainya. Fenomena cyber teror, jaringan terorisme memanfaatkan media sosial sebagai sarana menyebarkan paham radikalisme, dan sarana rekrutmen.

Bahkan tim media sosial subdit IT dan cybercrime Bareskrim Polri menemukan lebih dari 50 konten radikal setiap bulannya beredar di medsos.

Data Polri di tahun 2015, terdapat 180.000 akun di media sosial yang diduga memuat berbagai bentuk ujaran yang mengandung kebencian.

Lebih parah lagi, bahwa akun yang digunakan adalah akun palsu yang sengaja ditujukan untuk menyerang dan memprovokasi pihak-pihak tertentu.

Data Bareskrim Polri di tahun 2015, kasus hatespeech yang ditangani Bareskrim Mabes Polri sebanyak 15 kasus, tahun 2016 bertambah 2 kali lipat sebanyak 30 kasus. Angka tersebut belum termasuk penanganan hate speech, dan provokasi di seluruh Polda di Indonesia.

Jika ditelaah secara teoritis, hal krusial dari badai tsunami medsos adalah efek media yang dapat mempengaruhi perubahan aspek kognitif (pengetahuan dan opini), aspek afektif (sikap dan perasaan), serta aspek konatif (perilaku) secara drastis.  

Melihat kondisi yang ada saat ini, sungguh tergambar jelas bahwa gelombang tsunami medsos yang destruktif ini pada akhirnya sangat membahayakan konsistensi Kebhinnekaan dan persatuan NKRI.

Bahkan telah mempengaruhi psikologi bangsa kita, yang dulu terkenal dengan bangsa yang sangat beradab dan toleran, tetapi sekarang dunia seakan melihat kita sebagai bangsa kurang beradab dan kurang toleran.

Hal tersebut adalah tantangan besar bagi kita bersama, polisi, pemerintah dan semua unsur masyarakat untuk melakukan antisipasi terhadap perluasan konten dan dampak negatif gelombang tsunami medsos yang destruktif.

Ironinya, fenomena ini juga terjadi pada institusi kepolisian, yang notebenenya polisi juga bagian dari masyarakat itu sendiri. Beberapa survei yang dilakukan terhadap Polri di bulan 2015 menunjukkan, betapa kepercayaan publik terhadap Polri pada saat itu masih rendah.

Salah satu faktor penyebab rendahnya kepercayaan publik tersebut adalah badai Medsos yang tidak terkontrol yang terkadang tidak sesuai dengan fakta riilnya.

Walaupun kemudian, trend kepercayaan publik terhadap Polri saat ini cenderung meningkat dan bahkan bisa mengalahkan lembaga seperti KPK dan Kejaksaan dalam hal kepuasan masyarakat terhadap kinerjanya di survey akhir tahun 2016.

 Ada tiga kunci utama peningkatan kepercayaan publik terhadap Polri.  Pertama, peningkatan pelayanan publik, baik dalam bidang tugas konvensional, penyidikan maupun pemeliharaan kamtibmas.

Kedua, perbaikan kultur, yakni dengan mengurangi budaya koruptif, penggunaan kekuatan yang eksesif dan berlebihan; serta yang ketiga dan yang terpenting adalah manajemen media.

Dalam hal ini pula, prosentase aspek yang mempengaruhi pandangan publik terhadap Polri: 20 persen dari aspek profesionalisme/kinerja; 20 persen dari aspek kultur; dan 60 persen dipengaruhi oleh aspek media. Terlihat bahwa betapa dashyatnya pengaruh media terhadap pandangan publik atas suatu lembaga seperti Polri.

Kepolisian saat ini sedang menghadapi badai besar sebagai dampak turbulensi situasi lingkungan eksternal yang maha dahsyat, dimulai dari serangkaian pengamanan aksi 4-11, 2- 12, ancaman terorisme, bahkan saat ini mulai muncul isu dan pemberitaan di media sosial yang memprovokasi masyarakat untuk mendeskreditkan pemerintah.

Ditambah pula dengan isu politik yang makin memanas, saling tuding, saling tuduh, saling berkonspirasi, saling adu domba, saling menyalahkan.

Hal ini tentu berdampak negatif, mem-brainwash pikiran masyarakat, merenggangkan persatuan, dan memecah belah masyarakat, dan pada akhirnya berdampak pada situasi kontijensi, instabilitas politik, dan inkonsistensi keamanan negara.

Oleh karenanya, sangatlah diperlukan sinergi bersama untuk meluruskan berbagai polemik yang terjadi di tengah masyarakat, memperbaiki hubungan yang telah rusak karena konflik, serta memulihkan kembali ketegangan saluran komunikasi antara polri dengan masyarakat.

Walaupun arus demokrasi mendorong diutamakannya kebebasan individu di atas kepentingan segalanya, namun hakekat kebebasan dalam demokrasi adalah kebebasan yang dibatasi oleh supremasi hukum, kebebasan yang bertanggung jawab.

Kita semua harus berhati-hati dengan penggunaan kekuatan media yang sangat besar dan powerfull, karena baik buruknya negara juga merupakan sumbangsih dari ujaran – ujaran, kebebasan berbicara dan berpendapat melalui media.

Fenomena borderless world (dunia seakan tanpa batas) telah melemahkan mental bangsa melalui metode “proxy war”. Jika pilar-pilar demokrasi tumbang dan tidak kokoh, jika demokrasi tanpa supremasi hukum, maka negara kita bisa jadi akan gagal, inilah yang disebut fenomena failed stated.

Pemerintah haruslah kuat, masyarakat harus pula kuat, sendi-sendi kebangsaan harus diperkokoh, dan hal terkecil yang dapat kita lakukan khususnya di wilayah malang adalah dengan membangun sinergi yang baik dalam rangka membangun pondasi keamanan yang utuh.

Sekali lagi, tantangannya adalah badai tsunami medsos yang destruktif. Polri membutuhkan sinergi seluruh instansi, dan semua elemen masyarakat.

Namun penulis menyadari, di tengah upaya untuk meningkatkan kepercayaan publik, justru apapun yang dilakukan oleh pimpinan Polri, jangankan perihal negatif, hal yang dilakukan secara positifpun oleh Medsos yang tidak bertanggung jawab seringkali diputarbalikkan untuk menyerang balik Polri.

Lagi-lagi jejaring sinergi antara polisi dan masyarakat akan sangat rentan dirusak oleh badai tsunami Medsos destruktif, yang dengan mudahnya melempar isu, memprovokasi masyarakat, serta memfitnah secara negatif.

Akan sangat berbahaya bila serbuan informasi yang terus-menerus selama kurun waktu tertentu, dapat membentuk media mainstream yang membenci sosok polisi.

Dampaknya, sentimen negatif masyarakat tertuju kepada polisi mengakibatkan masyarakat menjadi antipati. Secara kognitif, afektif maupun perilaku masyarakat tidak mau membantu perubahan polisi itu sendiri, padahal polisi adalah bagian dari masyarakat.

Marilah mendorong perkembangan media sosial menjadi sarana pembangunan karakter kebangsaan yang positif, masif, cepat, akurat dan tajam melalui fungsi-fungsinya yakni, To inform (fungsi penyebaran informasi untuk masyarakat); To educate (fungsi mentransmisikan informasi menjadi pengetahuan baru bagi masyarakat); To persuate/to influence (fungsi merubah pikiran, sikap dan perilaku masyarakat); dan To entertaint (fungsi memberikan hiburan bagi masyarakat).

Inti dari semua itu adalah peran media sosial yang positif sangat penting, sebagai wahana pembaharuan dan  perubahan bangsa ke arah yang lebih baik, maju, modern dan sejahtera.

Dalam tulisan ini, penulis ingin menyampaikan beberapa langkah strategis yang dilakukan oleh Polri khususnya Polres Malang, berupa solusi penanggulangan yang bukan hanya dalam perpekstif hukum, namun lebih jauh menjangkau aspek preemptif dalam rangka mencegah dan mengantisipasi gelombang Tsunami Medsos yang destruktif bagi kelangsungan kehidupan bermasyarakat.

Tentunya, langkah-langkah ini perlu mendapatkan restu dan dukungan dari masyarakat, sehingga pelaksanaannya benar benar dapat mewujudkan legitimasi yang kuat baik secara hukum maupun oleh seluruh masyarakat.

Negara yang kuat adalah negara yang mendapatkan legitimasi dari rakyatnya, Polri juga harus mendapatkan legitimasi dari masyarakat agar menjadi kuat sehingga mampu memberikan keamanan dan menjamin keseimbangan kinerja pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Penguatan Polri, bukan hanya untuk institusi Polri, namun lebih kepada kepentingan masyarakat. Oleh karenanya, Polri berupaya untuk menampilkan sosok polisi yang profesional melalui penguatan implementasi program prioritas "promoter", dalam rangka meraih kembali public trust, melalui perubahan kinerja dan reformasi kultural.

Upaya Polri dalam mewujudkan public trust di mata masyarakat adalah tanggung jawab kita bersama, tanggung jawab Polri, masyarakat termasuk juga masyarakat pengguna media sosial.

Pada prinsipnya, kepolisian melakukan tiga langkah penting untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban di tengah masyarakat, dimulai dari upaya preemptif, preventif dan represif.

Pertama, langkah preemptif. Polri mengedepankan fungsi Binmas dan polmas untuk melakukan kerjasama yang proaktif antara polri dan seluruh media dan elemen masyarakat untuk mengantisipasi dan mencegah perluasan hatespeech, provokasi maupun konten pemberitaan negatif.

Adalah tanggung jawab kita bersama untuk memberikan informasi yang objektif, mendidik dan membangun. Jika ada kesalahan data dan informasi mari saling mengingatkan sebelum pemberitaan itu dilempar dan disampaikan kepada masyarakat.

dataSlzpy.jpg

Mari kita dorong media untuk lebih terbuka, lebih inovatif, kreatif, objektif dan akuntabel. Media adalah corong pemberitaan yang menyiarkan informasi dan fakta yang perlu diketahui masyarakat.

Jangan mudah terprovokasi oleh pemberitaan yang provokatif dan menyesatkan di media sosial. Ukurannya, masyarakat bisa membandingkan dan menelusuri dulu mana berita yang sahih / objektif, dan manapula berita yang hoax / bersifat provokatif.

Media sosial memiliki kerawanan yang sangat besar dibandingkan dengan media konservatif, siapa saja bisa menjadi pemilik media, bahkan oknum yang tidak bertanggung jawab juga dapat memanfaatkan media untuk men-share berita hoax, meme-meme palsu, sehingga memancing permusuhan, menebarkan kebencian, dan menyulut perpecahan.

Berhati-hatilah, karena banyak agenda setting yang sengaja diciptakan untuk memecah belah kebhinnekaan kita. Kehancuran bangsa ada di tangan kita sendiri, namun itu dapat digerakkan oleh agenda setting melalui media sosial.

Berhati-hati dalam men-share berita yang tidak bisa dipastikan tingkat kebenarannya. Mari membangun dan menegakkan jurnalisme positif, sehingga dapat mendukung cita-cita ketahanan informasi nasional.

Setiap pemberitaan regional, lokal, dan internasional haruslah bersifat building, inspiring dan positif thinking. Berikan berita penyeimbang, satu berita negatif harus dilawan dengan 100 berita yang positif.

Cancer-HoaxBapzG.jpg

Langkah kedua adalah langkah preventif. Polri bersama dengan Pemda dan masyarakat perlu melakukan pengelolaan media dengan baik, dengan melakukan pendekatan kepada media  mainstream; memberikan pelatihan dan implementasi pengelolaan media sosial kepada masyarakat binaan.

selain itu juga diharapkan melakukan patroli siber agar lebih peka dan responsif terhadap berbagai hate speech dan provokasi yang berdampak pada situasi gangguan Kamtibmas.

Polri akan mengedepankan fungsi intelijen untuk melakukan deteksi dini, melakukan penggalangan, serta memberikan pemahaman tentang dampak buruk penggunaan Medsos secara destruktif.

Media dapat memberikan internalisasi dan pembelajaran tentang pesan dalam berita untuk membangun kultur kehidupan masyarakat yang lebih baik.

Polisi dan media bersama-sama memberikan pemahaman hukum yang baik, serta memberikan himbauan yang positif. Misalnya, mengurangi pemberitaan hukum yang berorientasi pada keadilan penonton/pengadilan pemirsa.

Sampaikanlah berita atau isu terkait Polri secara berimbang dan objektif, sehingga masyarakat dapat memahami (secure understanding), dapat menerima pemberitaan tersebut secara tepat (establish acceptance), dan jika perlu dapat meningkatkan simpati atau memotivasi masyarakat untuk bersinergi erat dengan polisi dalam mewujudkan kamtibmas.

Langkah ketiga adalah langkah represif. Polri telah dan akan melakukan tindakan hukum secara tegas melalui beberapa instrumen perundang-undangan yang dapat dikenakan terhadap para pelaku yang menggunakan Medsos secara negatif dan destruktif.

Internet-Hoax3y9Sf.jpg

Data yang ada, dalam kurun waktu tahun 2012-2016, total Polri menangani 8.625 kasus cyber crime. Penanganan kasus cyber crime paling tinggi adalah pada tahun 2016, yaitu akun radikalisme sebanyak 880 website dan perkara yang dapat diselesaikan sebanyak 1108 kasus, jumlah total keseluruhan sebanyak 4.917 kasus, dengan modus paling tinggi adalah penghinaan, pengancaman, menyebarkan permusuhan, pemerasan, pornografi serta pembajakan dan pencurian data.

Bareskrim Polri juga menangkap 196 tersangka terdiri dari 166 tersangka kasus penghinaan dan 30 tersangka kasus SARA. Berdasarkan pemantauan akun medsos negatif dari bulan April-Desember 2016, teridentifikasi sebanyak 463 akun Medsos yang selanjutnya dilaporkan kepada Kemenkominfo untuk dimohon dilakukan pemblokiran.

Selanjutnya, dalam lingkup lokal, di wilayah Malang, Polres Malang Raya total menangani 148 kasus cyber crime pada tahun 2015-2016, sebagian besar adalah kasus judi online, penipuan online, pornografi dan pencemaran nama baik.

Dari jabaran diatas, tidak ada maksud sedikitpun pihak kepolisian untuk menghambat kebebasan berbicara dan berpendapat, serta kebabasan pers. Namun, kebebasan berbicara dan berpendapat adalah hak setiap orang. Namun kebebasan itu hendaknya disertai dengan tanggungjawab moril bersama untuk memajukan bangsa.

HoaxEe591.jpg

Kemajemukan bangsa Indonesia harus dijaga dan dipelihara sebagai modal sosial dan sumber kekayaan bangsa. Bhinneka Tunggal Ika sebagai doktrin dan kesepakatan nasional juga harus dipertahankan demi kelangsungan hidup bangsa Indonesia dalam menghadapi dinamika perubahan global.

Untuk itu, menjaga dan mempertahankan NKRI adalah tanggung jawab semua komponen bangsa, kita semua, untuk mencegah setiap anasir yang berupaya memecah belah persatuan dan kesatuan.(*)

 

*Penulis adalah AKBP Yade Setiawan Ujung, SH, SIK, MSi, yang kini menjabat sebagai Kapolres Malang

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES