Kopi TIMES Dies Natalis Ke 54 UB

E-Communication dan 'Tsunami' Komunikasi di Indonesia

Kamis, 05 Januari 2017 - 15:02 | 189.28k
Anang Sujoko. (Foto: Senda Hardika/TIMES Indonesia)
Anang Sujoko. (Foto: Senda Hardika/TIMES Indonesia)
FOKUS

Dies Natalis Ke 54 UB

TIMESINDONESIA, JAKARTA"Demi matahari dan cahayanya yang terang-benderang; Dan bulan apabila ia mengiringinya; Dan siang apabila ia memperlihatkannya dengan jelas nyata; Dan malam apabila ia menyelubunginya (dengan gelap- gelita), Demi langit dan Yang membinanya (dalam bentuk yang kuat kukuh--yang melambangkan kekuasaanNya); Serta bumi dan Yang menghamparkannya (untuk kemudahan makhluk-makhlukNya); Demi diri manusia dan Yang menyempurnakan kejadiannya (dengan kelengkapan yang sesuai dengan keadaannya); Serta mengilhamkannya (untuk mengenal) jalan yang membawanya kepada kejahatan, dan yang membawanya kepada bertakwa; - Sesungguhnya berjayalah orang yang menjadikan dirinya - yang sedia bersih-bertambah-tambah bersih (dengan iman dan amal kebajikan), Dan sesungguhnya hampalah orang yang menjadikan dirinya - yang sedia bersih - itu susut dan terbenam kebersihannya (QS asy-Syams [91]: 1-15).

Komunikasi, Informasi, Media dan Teknologi seolah menjadi kata kunci kehidupan dalam era kehidupan satu dekade terkahir ini. Kekuatan teknologi komuniikasi dalam memacu produksi informasi dan diseminasinya telah mengantarkan masyarakat dunia pada Era Globalisasi dan Era Informasi. Kini informasi bukan lagi harus ditunggu, tapi harus dicari dan dipilih.

Adhiswara dan Martin (2016) dalam paparannya di Indonesia Broadcasting Expo 2016 menyebut era saat ini sebagai Revolusi Informasi 4.0 revisi dari pemikiran Tofler (1991) tentang Third Wave.

Istilah tersebut bukanlah suatu yang berlebihan jika kita lihat fenomena yang sedang berlangsung di masyarakat dunia saat ini. Hadirnya mainstream media, media online, dan media sosial telah membuat komunikasi terasa gegap gempita.

Di era Revolusi Informasi 4.0 ini, masyarakat banyak mendapatkan kemudahan baik dalam berkomunikasi, bertransaksi, dan berinvestasi. Melimpahnya media exsposure, arus percakapan dan lalu lalang informasi, telah merubah realitas kehidupan manusia menjadi realitas baru, yakni realitas yang bisa direkayasa dan dimanipulasi (konstruksi) hingga menuntut kebijaksanaan para penerima dan pelakunya. Di era ini, e-communication bisa menjadi sebilah mata pisau yang bisa digunakan untuk kegiatan yang produktif atau destruktif.

Komunikasi: Persepsi dan Interpretasi

Kita tidak bisa pungkiri bahwa persepsi kita atau cara kita memandang terhadap sebuah peristiwa tidak akan lepas dari apa yang kita yakini. Keyakinan itu adalah nilai-nilai yang terbangun dalam perjalanan hidup seseorang, baik karena pengalaman hidup maupun referensi-referensi yang dijadikan pegangan hidup.

Proses seleksi informasi, organisasi informasi dan interpretasi atas stimulus yang datang dari luar individu inilah menjadi suatu proses yang sangat penting dalam membentuk persepsi itu sendiri (Slade and Lewis, 1994, h. 104-105).

Dalam banyak peristiwa, referensireferensi yang bisa berupa latar belakang budaya, pendidikan, profesi, sosial ekonomi dan lingkungan pergaulan sering menjadi faktor yang secara signifikan menimbalkan bias dalam berkomunikasi.

Hal ini telah dijelaskan dalam Social Learning Theory atau Social Cognitive Theory (Bandura, 1986), dan beberapa penelitian seperti (Ang, 1991), Morley & Silverstone (1991), Radway (1984), Graber (1988), Knitsch, (1988) serta Livingstone (1990).

Seorang dosen sering mempersepsikan mahasiswa sebagai individu yang mandiri, kritis dan mempunyai keinginan belajar yang kuat, sehingga seorang dosen berharap kepada mahasiswa untuk menyikapi suatu permaslahan secara kritis dan komprehensif melalui bacaan-bacaan di jurnal-jurnal internasional.

Kenyataannya, hanya sedikit dari mahasiswa yang memenuhi harapan dosen tersebut. Di sisi lain, seorang mahasiswa memandang dosen seorang yang sangat mumpuni akan keilmuannya, berwibawa, dan mampu membimbing serta memperlakukan mahasiswa untuk menjadi lebih baik. Kenyataannya, tidak banyak dosen yang memenuhi harapannya.

Persepsi menjadi inti komunikasi (Mulyana, 2007). Artinya, persepsi sangat mempengaruhi keberhasilan sebuah proses komunikasi, semakin mendekati kebenaran atau jauh dari bias maka persepsi tersebut akan mampu mendorong proses selanjutnya lebih akurat.

Demikain pula jika sebaliknya terjadi kebiasan dalam persepsi, maka pasti akan mengalami gangguan. Permasalahan selanjutnya adalah bagaimana persepsi tersebut diekspresikan ke dalam bahasa verbal dan non-verbal secara tepat.

Berger (2010) menekankan bahwa produksi pesan adalah hal yang fundamental dalam komunikasi dan Tannen (2004) mengatakan bahwa gaya percakapan bisa membuat komunikasi berjalan dengan baik atau bahkan sebaliknya, terhenti.

Bagaimana individu berkeinginan secara sungguh-sungguh belajar dan membekali diri sebagai individu yang memiliki ketersambungan rasa dalam berkomunikasi dengan pihak lain (Harmoko, 1993) dan mulailah dari perspektif orang lain (Arredondo, 2007).

Oleh karena itu, perlu ada saling pemahaman, empati, keterlibatan sosial dan upaya bersama menjaga iklim komunikasi yang kondusif. Ketepatan pengukuran bagaimana persepsi orang akan suatu hal dan bagaimana memproduksi pesan yang efektif inilah yang pada akhirnya akan menjadi sebuah informasi yang bisa ‘diperjualbelikan’ atau menjadi peluang melahirkan suatu bisnis.

Perusahaan atau konsultan Media, Kepribadian, Politik, Public Relations and Advertising Agency merupakan bagian kecil yang memanfaatkan ilmu komunikasi ini. Bagaimana membangun komunikasi yang harmonis dalam sebuah system perusahaan hingga bagaimana membangun reputasi perusahaan tersebut merupakan suatu hal yang bisa dan biasa melibatkan peran ilmu komunikasi.

Liberalisasi Persaingan

Memperhatikan peta perkembangan teknologi komunikasi dan konsumsi media khalayak di Indonesia hingga tahun 2015, Adhikarya (2016) memandang penting munculnya pemikiran-pemikiran inovatif. Hal ini ditunjukkan dengan analisisnya menyikapi fenomena komunikasi dan bisnis dalam kancah internasional (khususnya di Amerika) yang secara perlahan akan masuk ke Indonesia.

Melihat pola konsumsi media di atas, serta tingkat penetrasi teknologi mobile phone dan internet di Indonesia, bukan tidak mungkin fenomena yang beberapa tahun terakhir ini terjadi di Amerika akan semakin menjadi trend dan berkembang di Indonesia.

Trend tersebut salah satunya adalah munculnya generasi FANG (Facebook, Amazon, Netflix, Google) Generation. Munculnya shared economy menyusul creative economy, crowd content and crowd funding. Fenomena naiknya harga saham FANG akan diprediksi terus terjadi dan semakin leading.

Salah satu konsep yaitu glocalization menurut Adhikarya (2016) merupakan pilar dalam memenangkan persaingan global dan bahkan cenderung liberal. Konsep glocalization harus diterjemahkan sebagai global trends/vision dan disertai dengan aksi dan strategi lokal.

Contoh dalam hal ini adalah bagaimana kreatif ekonomi saja tidak cukup namun harus bergeser ke sharing economy. Konsep yang sudah diterapkan UBER, kemudian memberikan inspirasi ke Nadim Makarin mendirikan GOJEK, dan kehadiran Gojek benar-benar telah membuat banyak orang tersenyum.

Sebagai contoh, tarif taxi reguler (Blue Bird) dari kawasan Jakarta Pusat ke Bandara Soekarno Hatta adalah sekitar Rp 200.000,- termasuk toll fee, tetapi dengan UBER cukup membayar sekitar Rp 100.000 sudah termasuk toll fee.

Gojek dengan aplikasinya mampu memanjakan konsumen layaknya pesan taxi. Konsumen tidak perlu datang ke pangkalan ojek, cukup mainkan jari di aplikasi smartphone dan beberapa menit kemudian pengemudi Gojek akan menghubungi konsumen.

Spirit of entrepreneur dari bisnis merupakan pemikiran-pemikiran lintas ilmu. Gojek sebagai trend internasional dengan strategi dan aksi lokal merupakan pemikiran seorang yang berlatarbelakang ekonomi dan pengguna ojek, Nadim Makarin, Michaelangelo ‘Mickey’ Moran (DJ Mickey) yang mempunyai keahlian dalam design dan new media, serta Alamanda Shantika Santoso yang membidangi aplikasi Gojek.

Hal tersebut adalah contoh inovasi dengan global trend. Jika inovasi lain terus diciptakan maka apa yang diprediksi oleh kalangan-kalangan top dunia tahun 1995 yang berkumpul di hotel mewah Fairmont, san Fransisco, yakni strategi 20;80 dengan tyttytainment (Martin dan Schumann, 1996, hal. 13-15) tidak akan terjadi.

Selanjutnya adalah networking and knowledge brokering yakni menciptakan jaringan atas jaringan (Adhikarya, 2016). Konsep belanja online Alibaba.com dan Lazada.com.

Universitas Brawijaya yang memiliki sekitar 75 program studi/jurusan mempunyai potensi luar biasa dalam berkontribusi membangun bangsa ini secara cerdas. Apalagi capain kreatifitas dan prestasi mahasiswa Universitas di kancah nasional maupun Internasional bukan hal yang sulit.

Sekarang tinggal memunculkan kemauan yang kuat dalam mendorong talented students dan memfasilitasinya untuk menjawab tantangan. Angan-angan saya adalah bagaimana UB bisa memiliki program atau aplikasi yang berfungsi pada pengendalian dampak luapan air di Kota Malang ketika hujan, parkir liar, transportasi dan kuliner.

Dengan kata lain, bagaimana berlimpahnya sumber daya manusia di UB dan melalui sinergi dengan masyarakat sekitar problem tersebut bisa diatasi melalui e-communication.

Harapan penulis adalah bagaimana UB dengan KPRInya mampu menjalankan sharing economy atau crowd funding atas unique local sellers, bagaimana technopark dan UB forest mampu menjadi virtual sharing forest bagi masyarakat, dan masih banyak harapan lain.

Pemikiran ini masih sangat mentah, namun harus segera dimulai untuk menyempurnakan gagasan awal ini. Dalam era informasi, komunikasi memainkan peran yang penting dalam memenangkan persaingan. Tentu saja komunikasi bukan sebagai satu-satunya kekuatan dalam menjawab tantangan.

Komunikasi merupakan cara mengenali, menangkap dan mengelola fenomena sebagai sebuah informasi untuk menyusun strategi. Dewasa ini, bahkan, sinergi Ilmu Komunikasi sebagai ilmu sosial dengan ilmu politik terus mengemuka kontribusinya dalam percaturan sosial ekonomi politik pemerintah Republik Indonesia baik melalui kelembagaan maupun individu.

Mereka adalah Good News From Indonesia, Netizens Journalists, dan para Youtubers Indonesia. Maraknya pemilihan umum kepala daerah dan berkembangnya iklim demokrasi kerakyatan telah mendorong pula munculnya Pollsters dengan berbagai aktivitas dalam marketing komunikasi politik, konsultan politik, dan lembaga survei.

Kehadiran dan peran serta ilmu eksakta seperti statistik dan teknologi informasiakan semakin menjadi kekuatan yang lebih besar. Pada tahun 2014 yang lalu sudah ada 56 lembaga survei dan hitung cepat terdaftar ke KPU untuk melakukan survey terkait pemilihan presiden dan wakil presiden.

Sinergi antara ilmu politik, sosiologi, komunikasi dan statistik membuka peluang untuk menjadi entrepreneur bidang politik, tepatnya konsultan komunikasi politik. Bahkan beberapa lembaga secara khusus menjadi konsultan total seorang kandidat dalam perebutan kekuasaan sebagai pemimpin.

Fenomena ini tidak terlepas dari kehadiran new media dalam proses politik di Indonesia pasca reformasi. Bagaimana politik pencitraan sebagai bagian penting dalam Pilkada, Pileg dan Pilpres 2014 kemarin. Popularitas dan citra positif menjadi produk utama lembaga-lembaga polling dan konsultan marketing politik.

Teknologi Komunikasi dan Glokalisasi

Hadirnya teknologi komunikasi yang terus berkembang, menawarkan beberapa alternatif kepada manusia untuk berinteraksi. Komunikasi tidak lagi harus bersifat symetric dan statis, tetapi pesatnya teknologi komunikasi telah menyediakan media komunikasi yang portable, asymetric dan fashionable.

Komunikasi bukan lagi dipandang sebagai kebutuhan dalam rangka untuk rutinitas hidup, tetapi komunikasi sudah masuk pada ranah kreativitas, inovasi, gaya hidup dan akhirnya menjadi bisnis.

Kekuatan penyebaran informasi bukan lagi hanya dimiliki oleh industri media mainstream, tetapi sekelompok orang, organisasi non media industry, atau sukarelawan.

Saat ini seseorang secara personal mempunyai ‘kemampuan’ untuk memproduksi dan menyebarkan informasi layaknya industri media, Castels (2014) menyebut fenomena ini dengan mass self-communication.

Kemampuan individual ini merupakan konsekuensi dari Web 2.0, Web 3.0, serta munculnya aplikasi-aplikasi komunikasi yang memungkinkan setiap orang untuk mem-broadcast pesan ke khalayak secara serempak.

Fenomena bergesernya kendali distribusi informasi atau produksi informasi menjadi trend yang bisa menjadi petunjuk bagaimana masyarakat kita saat ini berkomunikasi.

Fenomena perilaku bermedia pada mahasiswa saat ini juga menunjukkan bahwa mayoritas mereka mengakses informasi melalui gadget atau laptop mereka yang terkoneksi ke internet.

Meski diketahui bahwa televisi saat ini masih mendominasi sebagai mainstream media yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia setelah internet. Tragisnya, dalam lima kelas semester 1 dan 3 kurang dari 5 mahasiswa yang membaca koran cetak, dan tidak semua di antara mereka yang membaca koran dengan melalui berlangganan.

Kartosapoetro (2016), atau lebih dikenal dengan Ishadi (Ishadi Soetopo Kartosapoetro) dan Adhikarya (2016) dalam paparan mereka di Hari Komunikasi Nasional di Makasar mengatakan bahwa saat ini telah terjadi perubahan perilaku konsumsi media di Indonesia dan bahkan perilaku komunikasi dunia.

Lebih lanjut data Dewan Pers (2014) yang menunjukkan adanya 567 media cetak, 1.166 stasiun radio, 394 stasiun televisi, dan 211 media siber selama tahun 2014, ternyata tidak secara in line dengan pilihan masyarakat dalam memilih media sebagai sumber informasi, hiburan atau aktivitas lain.

Sisi positif mengemukanya teknologi internet untuk berkomunikasi adalah munculnya potential market dan wirausaha. Kreativitas, inovatif dan kejelian membaca trend merupakan kunci untuk menjadi entrepreneur yang berbasis user-generated content, seperti youtubers, bloggers, dan aplikasi-aplikasi kreatif lain.

Jika stasiun televisi mengandalkan rating yang ‘tidak jelas’ penetapannya, kini melalui aplikasi-aplikasi di internet jumlah pengunjung dan lamanya waktu kunjung secara otomatis tercatat oleh mesin.

Catatan tersebut hingga kini dipandang lebih baik dari apa yang dilakukan perusahaan yang memonopoli rating dunia pertelevisian di Indonesia.

Fix in Six merupakan salah satu contoh user-generated content yang mendapatkan penghargaan karena kreatifitasnya. Sajian-sajian solusi permasalahan hidup keseharian melalui video dengan durasi enam menit ini mampu menyedot jumlah pengunjung yang luar biasa.

Metode tersebut digunakan perusahaan komersial dalam menjalankan bisnisnya, seperti bagaimana pemasaran produk Lay’s. Penentukan flavor produk ini ditetapkan melalui tekhnik vote ke market (calon konsumen mereka).

Lay’s menawarkan hadiah yang luar biasa besar, 1 juta dollar kepada peserta yang ide rasanya menjadi pemenang. Vote ini sukses luar biasa dengan melibatkan 3.8 juta peserta. Hasilnya, produsen berhasil mendekatkan dan menjual produk ke market dengan sukses. Di sini kita bisa melihat bahwa strategi beriklan sudah berubah.

Di Indonesia, munculnya enterprener muda berdasar talenta juga sudah berkembang. Contohnya adalah youtuber-youtuber yang memproduksi konten sendiri dan mengunggahnya di youtube secara periodik. Bahkan ada target minimal produksi yang harus diunggah dalam kurun waktu tertentu.

Diketahui, bahwa ada sistem rangking yang didasarkan pada jumlah subcsriber atas akun tertentu yang telah menjadi mitra youtube. Penghasilan dari youtubers ini dipengaruhi oleh jumlah subscriber, jumlah klik dan lamanya akses, serta terkait dengan iklan yang nempel.

Sebagai contoh, Bayu Skak mempunyai pendapatan per bulan antar 26 juta hingga 39 juta rupiah perbulan (kapanlagi.com, 2016). Bahkan seorang youtuber Indonesia yang menyajika video anak-anak dan bayi mampu mendapatkan penghasilan sekitar 62 juta perbulan.

Ketika apa yang menjadi pengetahuan manusia adalah hanya pada apa yang digambarkan oleh media, ketika message of virtual communication telah menjadi realitas sosial, dan ketika e-communication telah menjadi pembangun utama realitas dunia, maka pasti akan terjadi distorsi pesan.

Bahkan telah terjadi kehidupan manusia masuk pada dunia simulasi, sumlakra. Dan inilah awal bencana komunikasi terjadi. Andai teknologi manusia saat ini bisa mendekati dengan kemampuan seorang Ahli Kitab ketika menghadirkan singgahsana Ratu Balqis ke hadapan Nabi Sulaiman AS pasti akan berbeda hasilnya (lihat Qur’an, An Naml (27): 40).

Perkembangan teknologi komunikasi telah memungkinkan diseminasi informasi dan munculnya peluang bisnis baru dari dan ke berbagai belahan dunia.

Contoh-contoh di atas sebagai trigger bagi enterprener muda Indonesia, enterprener Universitas Brawijaya, untuk berwawasan dan bervisi Internasional dengan menggunakan strategi dan nilai lokal.

Banyak potensi lokal yang harus digarap dengan strategi yang membumi, karena keberhasilan komunikasi akan tergantung dari pemahaman komunikator dalam memahami konteks ruang dan waktu (Mulyana, 2007).

Upaya yang kreatif dan pemikiran inovatif di era Revolusi Informasi 4.0 ini akan semakin menjajikan jika dibarengi dengan sinerginya berbagai lintas keilmuan.

Universitas Brawijaya yang saaat ini telah memiliki 79 program studi strata S1 dan 4 program studi Diploma dengan berbagai peminatan, merupakan ‘kerajaan’ yang potensial menciptakan enterprener muda yang berkarakter.

Karakter itulah keunikan, dan keunikan itulah nilai daya saing. Karakter saja tidaklah cukup, namun strategi dan nilai lokal menjadi spirit untuk glokalisasi.

Sesuai dengan data dari Gambar 8 dan Gambar 9 bahwa betapa luar biasanya pengaruh mainstream media (terutama televisi, lihat Lim (2011), media sosial dan instant messaging terhadap perilaku komunikasi masyarakat di Indonesia saat ini.

Dalam waktu bersamaan, seseorang bisa diterpa berbagai media. Ketika individu memiliki keterbatasan untuk mengakses informasi tentang suatu peristiwa secara langsung, media menjadi andalan sebagai kepanjangan indera manusia (McLuhan, 1994).

Dari sinilah pasokan ‘realitas media’ menjadi bahan dasar dalam mengkonstruksi realitas baru oleh individu hingga apa yang dikatakan Lippman (1998) bahwa realitas atau gambaran dunia adalah apa yang ada di kepala, ‘The World outside and the Pictures in our heads”.

Dari asumsi ini, sangat mungkin jika sebuah peristiwa sebagai fakta empiris (kejadian nyata) akan dikonstruksi oleh media (lihat Reese and Shoemaker, 1997) atau individu (lihat proses intepretasi dan persepsi) menjadi sebuah realitas baru.

Ketika isu tersebut masuk sebagai viral maka akan mempunyai potensi munculnya realitas yang kabur antara realitas yang sebenarnya dan realitas media menjadi kabur, dan inilah hyperreality.

Jean Boudrilard (dalam Poster, 1988) mengatakan bahwa kenyataan atau realitas media, sebagai sebuah fakta yang direkayasa dan dimanipulasi (lihat Framing Theory, Agenda Setting Theory) sesuai kepentingan media dalam rangka untuk membangun realitas baru, lebih dipercaya dan dianggap lebih nyata dari fakta sebenarnya. Kepalsuan dianggap sebagai sebuah fakta empiris, dan teknologi komunikasi saat ini sangat berperan dalam membangun teknologi simulasi (Piliang, 2001:150).

Perilaku komunikasi seseorang yang cenderung memilih sumber informasi yang menguatkan opini atau keyakinannya (Selective Exposure Theory), semakin membuat masyarakat mudah dan cepat membangun sebuah hyperreality tersebut, masyarakat dalam kepalsuan.

Perilaku memilih sumber informasi atau terpaan media sosial ini juga diikuti oleh perilaku memilih mainstream media hingga menyebarkan isi mainstream media tersebut melalui media sosial (Westwood dan Messing, 2012).

Ketika realitas-realitas yang hyper tersebut dalam isu-isu yang kontroversial terjadi polarisasi sebagai efek dari Filter Bubble Theory (Pariser, 2011), maka bencana komunikasi akan terjadi. Konflik sosial horisontal akan terjadi akibat informasiinformasi dan jaringan komunikasi yang terpapar dalam dunia virtual.

Tindakantindakan yang tidak patut akhirnya keluar seperti kata-kata makian, umpatan bahkan menyerang secara personal di ruang publik. Dari sini muncul istilah nyinyirun. Tindakan lain bisa berupa unfollow atau sampai unfriend.

Lebih celaka lagi adalah bahwa ternyata melalui media sosial, pesan-pesan yang beredar dan menjadi trending topic adalah tidak jaminan kebenarannya.

Hal ini diakui oleh seorang penulis berita hoax atau berita palsu Paul Horner saat pemilu Amerika Serikat 2016 yang lebih banyak menyerang Hallary Clinton.

Dia bahkan mengaku mendapatkan pendapatan 10 ribu US$ per bulan melalui berita palsu yang disebarkan melalui Facebook dan Google (Ohlheiser, 2016).

Fenomena lain dalam Pemilu Amerika Serikat 2016, dalam sejarah politik yang modern saat ini, menunjukkan bahwa informasi dan disinformasi secara equal mempengaruhi opini dan perilaku memilih Warga Amerika (Jackson, 2016).

Akhirnya, sebagai mahkluk ciptaan Allah SWT yang beriman dan bersyukur, ketundukan pada aturan-Nya adalah sebuah keniscayaan. Insan cita yang bernurani sudah seharunya berkewajiban menjaga keharmonisan berkomunikasi.

Kebenaran, kejujuran, ketegasan dan pantang menyerah merupakan nilai-nilai mulia yang harus dijunjung dalam kehidupan bermasyarakat. Jangan karena demokrasi kemudian nilainilai keyakinan harus digadaikan. Jangan karena mimpi kemudian manipulasi menjadi pegangan diri.

"Ajining diri dumunung ana ing lathi, ajining raga ana ing busana. Jamane-jaman edan jamane jaman edan, sing ora edan ora bakal keduman. Nanging sak bejo-bejone wong edan, isih luwih bejo wong kang eling lan waspodo".(*)

*Penulis adalah Anang Sujoko, D.COMM, Dosen Sosial Politik dan Komunikasi di Universitas Brawijaya Malang

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Ahmad Sukmana

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES