Indonesia Positif

Informasi tentang Bangsa Ini Cenderung ke Arah Kesengsaraan

Kamis, 05 Januari 2017 - 12:01 | 75.30k
ILUSTRASI: Konsumsi informasi via gawai sudah sangat tinggi. (Foto: sriwijaya post)
ILUSTRASI: Konsumsi informasi via gawai sudah sangat tinggi. (Foto: sriwijaya post)

TIMESINDONESIA, JAKARTATIMES Indonesia Network (TIN) sejak berdiri terus menggencarkan kampanye ketahanan informasi nasional (KIN) lewat jurnalisme positif. Berbagai gerakan kampanye telah dilakukan. Dukungan pun mengalir deras. Mulai dari TNI, Polri, pemerintah pusat dan daerah, perguruan tinggi, hingga kalangan swasta.

Bahkan TIN juga sudah bersinergi dengan enam negara anggota CTI-CFF regional Asia untuk membangun ketahanan informasi di bidang kemaritiman dan kelautan. Dari kalangan kampus juga menyambut antusias.

’’Kami akan terus mengajak semua pihak untuk bersama-sama membangun ketahanan informasi nasional ini lewat jurnalisme positif. Indonesia ini harus kita bangun bersama, ya bersama-sama, termasuk dari sisi informasi,’’ tandas Khoirul Anwar, CEO TIMES Indonesia Network (TIN).

Apa yang melatari pentingnya ketahanan informasi nasional (TIN) ini? Target apa yang ingin dicapai untuk nusantara ini? Apa hubungannya KIN dengan teknologi, perkembangan media, dan perkembangan informasi yang bak tsunami ini? Bagaimana pula keterkaitannya dengan data technology?

Berikut petikan wawancara wartawan TIMES Indonesia dengan Khoirul Anwar, penggagas sistem Ketahanan Informasi Nasional (KIN) yang juga CEO TIN ini.

Salam ketahanan informasi. Apa yang melatari Anda dan TIN terus menggaungkan ketahanan informasi nasional (KIN) ini?

Salam ketahanan informasi. Nusantara kita ini sangat indah, kaya potensi, kaya segalanya, termasuk kaya dinamika dan kebhinekaannya. Dengan punya segalanya itu, patut kiranya kita bangga. Namun yang selama ini terjadi, rakyat bangsa ini justru merasa kurang bangga dengan bangsa yang besar ini.

Mengapa begitu?

Banyak faktor sebenarnya. Namun sebagai orang media dan lama bergelut di bidang informasi yang sangat peduli dengan nusantara ini, saya lebih melihat dari sisi informasi. Dari sisi inilah nusantara secara utuh dengan segala keberagaman dan kekayaannya tidak banyak terekspos. Sementara yang banyak justru ’’kesengsaraan’’ dan kenegatifan yang banyak terungkap. Akibatnya, ketika banyak informasi negatif tersebar, psikologis kita jadi lemah. Pengaruhnya, kebanggaan kita sebagai rakyat bangsa ini juga lemah. Yang lebih mengerikan, kita seperti malu mengakui jadi rakyat Indonesia. Lebih bangga disebut orang manca. Ini kan menggelikan.

Apa hubungannya dengan ketahanan informasi?

Banyak sekali. Seperti saya sampaikan tadi, meski faktornya banyak, tapi sumbangsih informasi cukup besar lho. Bayangkan jika setiap hari kita selalu dicekoki dengan informasi yang negatif dan memunculkan aura negatif, tentu pola pikir kita ikut negatif. Tidak percaya? Coba cari di Google informasi tentang daerah Anda. Hitung lebih banyak mana positif dan negatifnya. Anda akan bisa mengukur sendiri.

Maksud dari informasi positif dan negatif itu seperti apa?

Tentu bermakna luas ya. Bukan hanya secara harfiah. Yang jelas informasi yang bisa menyebarkan aura negatif itu bisa dikatakan informasi negatif. Lihat saja, informasi yang ada sekarang, mulai kekerasan, seksualitas, pornografi, terorisme, penipuan, korupsi, hujat menghujat, fitnah, dan lain sebagainya, semuanya menghiasi media tanah air kita. Itu auranya kan jelas negatif. Akibat dari itu semua (aura negatif), masyarakat kita jadi sensitif. Mudah terprovokasi dan mudah terjadi perselisihan yang mengarah pada kekerasan. Nah, di tengah tsunami informasi yang beraura negatif itu, ke mana informasi beraura positif, sehingga auranya (negati-positif, Red) ini seimbang. Bahkan kalau perlu diperbanyak aura positifnya. Perbanyak sebanyak-banyaknya. Makin banyak yang positif makin bagus. Di sinilah butuh kebersamaan untuk menciptakan informasi positif itu. Baik kebersamaan medianya maupun sumber informasinya. Saling mengisi. Ini akan jadi cikal bakal ketahanan informasi itu.

Bukankah cukup sulit menyatukan media, bahkan sumbernya, untuk berpikir sama dengan keinginan ketahanan informasi tersebut?

Begini, tidak ada yang sulit di dunia ini asalkan kita mau dan terus berusaha. Memang berat. Karena mainstream media dalam ruang lingkup jurnalisme itu kan ada tiga yang didoktrinkan. Good news is good news, neutral is bad news, dan bad news is good news. Puluhan tahun saya menjadi jurnalis dan bergelut dengan media, yang banyak didoktrinkan hanya bad news is good news dan neutral is bad news. Padahal sangat penting sekali itu good news is good news. Inilah tantangan ketahanan informasi kita.

Apa nanti laku medianya juga melawan arus seperti yang Anda lakukan?

Begini Mas. Manusia itu hanya diminta untuk ikhtiar semaksimalnya. Terus menebar kebaikan, mengajak berbuat baik, dan selalu berbuat baik. Itu sangat penting dan harus dilakukan. (Itu) Sudah rumus alam alias sunnatullah kok. Di sisi lain, rumus dasar otak manusia itu kan menolak kesengsaraan dan menerima kenikmatan.  

Bagaimana dengan idealisme jurnalis dengan adanya ketahanan informasi itu?

(Bersambung) (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Ahmad Sukmana

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES