Kopi TIMES

Hukum dan Freming Media di Tengah Isu Disintegrasi Bangsa

Kamis, 05 Januari 2017 - 06:03 | 220.63k
Miftahul Arifin (Grafis: TIMES Indonesia)
Miftahul Arifin (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, MALANG – CERITA panjang Indonesia mengantarkan kita pada sebuah romantisme masa lalu, dimana dalam prosesnya Indonesia mencari sintesis ideologi dan dengan seiring berjalannya waktu akhirnya terbentuk nation state.

Semua bermula atas persamaan nasib sebagai bangsa yang terjajah. Kesadaran demi kesadaran mengantarkan satu pemahaman kolektif yang terkonseptualisasi dalam ruang gerak kebhinekaan.

Dengan demikian, kandungan yang terdapat didalamnya memuat nilai-nilai agama, moral, hukum dan keadilan. Atas dasar itulah masyarakat dan pemerintah harus menjadikan nilai tersebut sebagai landasan untuk membangun tatanan politik, ekonomi, hukum dan sosial budaya dalam berbangsa dan bernegara.

Arus kapitalisme global begitu kencang melanda Indonesia, menciptkan suatu tatanan masyarakat radikal, meruntuhkkan budaya dan keraifan lokal dan menawarkan lifestyle glamor.

Virus globalisasi masuk dalam ruang-ruang strategis di ranah publik, ekonomi, politk, budaya dan pendidikan, semuanya sudah terjerat dalam arus globalisasi. Kelompok sosial harus tersisihkan dengan ruang-ruang virtual media sosial.

Semuanya mengarah pada arogansi individu dan kelompok tertentu. Ditambah lagi Indonesia berada dalam lingkaran mafia pemodal, kedaulatan hukum, ekonomi dan politik hanya disetir segelintir orang. Tidak heran jika kegaduhan yang terjadi sekarang ini akibat dari kesenjangan sosial dimana supremasi hukum tidak ditegakkan di tengah masyarakat.

Hukum hanya berlaku untuk masyarakat bawah dan tidak berlaku bagi mereka pejabat dan konglomerat. Ini mencerminkan penegakan hukum kita masih jauh dari ekpektasi publik.

Kondisi seperti ini mengakibatkan ledakan konflik luar biasa ditengah masyarakat yang berujung pada perpecahan antar golongan, apalagi indonesia berada dalam pengaruh budaya asing.

Arogansi budaya yang muncul di masyarakat “barat” akan melahirkan sikap budaya pongah, angkuh dan picik. Tentu akan sangat merugikan Indonesia sebagai Negara yang kaya ragam tradisi dan budaya.

Rafl Dahrendorf melihat bahwa konflik sangat fungsional sebagai salah satu kanalisasi ketegangan yang berbasis “kelas” pada masyarakat industri, namun tetap saja menyisakan beragam masalah lain (bersifat residual), baik yang subtansial maupun yang perifarel. Pikiran Rafl Dahrendorf menjadi tereduksi dalam anasir yang sempit. Konflik antara yang “beruntung dan “tidak beruntung” dalam perspektif ekonomi menjadi konflik antar kelompok, etnis dan agama.

Penyimpangan Hukum

Ditengah kondisi masyarakat yang plural pemerintah harus menciptkan stabilitas sosial guna mewujudkan pembangunan kolektif dan akomodatif. Selama ini kehadiran pemerintah belum menyentuh aspek subtansial dari kebutuhan masyarakat yakni membangun keadilan sosial dan menegakkan hukum berdasarkan perundang-undangan yang berlaku.

Masyarakat dalam kontek ini menginginkan bahwa hukum hadir sebagai penjamin kebebasan dalam menjalankan keyakinannya tanpa diskrimasi  serta terciptanya tatanan sosial humanis edukatif dan toleran.

Seperti yang kita ketahui bahwa Hukum dibangun atas dasar kesadaran bersama untuk menjadi perekat dan pemersatu perbedaan yang ada. Sebabnya, hukum harus dijadikan sebagai arah perubahan masyarakat untuk lebih baik bukan sekedar pajangan yang diperdebatkan ditengah kemajmukan berbagsa dan bernegara.

Dalam rangka menjaga kedaulatan Indonesai sebagai Negara hukum maka segala bentuk apapun yang dianggap melanggar hukum harus diproses dan diadili sesuai ketentuan hukum yang berlaku. 

Pasal 1 ayat 3 mengatakan bahwa “Negara ini adalah Negara Hukum” artinya bahwa segala bentuk kegiatan bangsa dan Negara harus berdasarkan hukum (Nomokrasi). Karena, apabila tanpa didasari hukum maka akan anarki, arogansi, dan akan menimbulkan disentegrasi antar anak bangsa.

Pembangunan hukum di indoensia harus balance antara Demokrasi dan Nomokrasi, dimana keduanya berperan saling mengontrol dan menguatkan satu sama lain. Demokrasi sebagai pilar menyerap aspirasi masyarakat mempunyai andil besar dalam menentukan kebijakan dan hukum menginginkan bahwa segala proses yang ada dalam demokrasi harus mengikuti prosedur yang fair serta menurut filosofi hukum dengan segala bentuk aturan perundang-undangan.

Tapi, realita yang terjadi sekarang ini hukum tak ubahnya mesin politik saling menjatuhkan satu sama lain. Hukum dibuat berdasarkan suhu politik dan keperpihakan pada pemodal dan penguasa. Jual beli hukum bukan rahasia umum, berapa banyak pejabat yang tersangkut kasus hukum, bahkan ironinya, para penjaga konstitusi yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga kedaulatan hukum harus terjerat kasus hukum, ini ibarat Negara hukum yang dibangun tanpa etika dan nilai hukum itu sendiri.

Jika yang terjadi demikian, lantas bagaimana dengan masyarakat yang notabennya bukan ahli hukum? Tentu masyarakat mempunyai ekpektasi besar terhadapa penegakan hukum di indoensia bukan hanya sekedar pajangan dan rumusan yang tak kunjung habis diperdebatkan dan pada akhirnya hanya selesai di meja makan.

Seringkali kita menemukan penguasa mengintimadasi masyarakat atas dasar hukum, padahal hukum dibangun untuk melindungi seluruh elemen masyarakat dan mendapatkan keadilan bukan  dijadikan alat  mengintimedasi dan menindas.

Hukum tidak dibangun untuk menjadi alat penguasa dan propaganda pemecah belah bangsa tetapi hukum dibangun sebagi alat pemersatu bangsa dengan menjamin kebebasan setiap warganya dalam menjalankan aktivitas dan terpenuhinya unsur keadilan tanpa harus melihat latar belakang dan kedudukannya.

Pengaruh Freming  Media terhadap objektivitas

Secara geografis, Indonesia berada diantara dua benua (Asia dan Australia) dan diantara dua samudara oleh sebab itu Indonesia merupakan jalur strategis perdagangan dunia. Karena letaknya yang strategis banyak sekali-negara luar berkepentingan dengan Indonesia.

Indonesia tidak bisa menghindar dari arus media dan budaya dari berbagai Negara. Akulturasi budaya menjadi ledakan yang sangat dahsyat dalam sistem masyarakat kita dan pada saat itu Indonesia telah kehilangan jati dirinya sebagai bangsa yang berbudaya.

Disamping itu, arus media infor masi begitu cepat masuk dalam sendi kehidupan masyarakat menyebabkan tatanan sosial mudah terpenguruh dan terprovokasi oleh bermacam isu yang belum tentu benar. Detik ini, Indoensia dihadapkan dengan dunia tanpa batas, apapun yang kita lakukan seolah sudah terekam dalam mega server (media).

Kata-kata menjadi alunan udara yang merasuk disetiap gendang telinga, ini bertanda sabda  dan kata menjadi ulasan fatwa-fatwa menghias ruang virtual media sosial. Perang suara dan kata tidak bisa dibendung mana hoax mana realita, semuanya begitu liar lebih liar dari realitas sesungguhnya. Ada banyak kepalsuan dan kebohongan dari freming media dalam mengkonstruk sosial budaya kita. 

Budaya-budaya luar, leluasa masuk dan menggerongoti nilai-nilai budaya Indonesia hingga pada akhirnya menghegemoni budaya kita pada ruang sempit tak bernilai.

Penggiringan opini lewat media membawa kita pada dunia fantasi dengan keliaran isu ruang publik. Hitam dan putih sudah tidak bisa dibedakan, yang ada hanya mengaburkan subtansi untuk sebuah pembenaran, ruang-ruang fiksi diolah menjadi makna yang sesungguhnya. Dan anehnya, kita juga terperangkap dalam lubang tersebut. Ini yang dimaksud dengan perang semesta media bukan perang fisik dan baku hantam senjata.

Sesama anak bangsa sengaja dipecah untuk saling hujat. Golongan, ras, agama, budaya dan suku sudah tidak menemukan lagi formula penyatuan dalam perbedaan. Bhinneka Tunggal Ika yang katanya semboyan Negara sudah menjadi alat propaganda memecah belah anak bangsa, atas nama perbedaan mereka jadikan senjata untuk menghantam satu sama lain karena hanya perbedaan prinsip individu dan kepentingan.

Sejarah membuktikan bangsa Indonesia begitu gagahnya melawan kolonialisme, bisa merdeka seperti saat ini hanya dengan bermodalkan senjata seadanya, ini menandakan bahwa Indonesia tidak pernah takut dan ciut menghadapi ancaman perang nyata (fisik). 

Tetapi perang yang dihadapi dewasaini adalah perang cyber dalam kontek ini jauh lebih  bahaya ketimbang perang fisik. contoh kasus Timor-Timor bisa lepas dari NKRI bukan karena kalah dalam perang kontak senjata tetapi karena freming media yang menyulut konflik antar kelompok dan suku dalam masyarakat Timor-Timur. Dan kita bisa melihat bahwa propaganda media telah membawa kita pada dunia opini liar dengan melihat segala sesuatunya atas dasar ego sektoral.

Perkembangan teknologi informasi menjadi terror kebudayaan lokal, nilai estitika didalamnya tergerus habis dengan munculnya budaya baru dan rasialis yang mempersoalkan perbedaan bahasa, etnik, budaya, agama dan suku. Disamping itu ancaman yang dihadapi budaya Indonesia adalah budaya industrial dengan budaya hidup yang hidonistik, glamor instan dan individual. Juga tidak bisa dipisahkan dengan Kepentingan politik yang mengarah pada konflik etnik kesukuan.

Sesama anak bangsa dihadapkan pada saling mencurigai satu sama lain, akibatnya membawa ego kita untuk menang sendiri, dan melihat segala sesuatunya atas dasar kebencian sehingga menghilangkan nilai-nilai objektif.

Jika yang terjadi demikian maka kita dapat memastikan beberapa tahun yang akan datang Indonesia akan terpecah belah menjadi Negara-Negara bagian. Satu sama lain saling nyinyir tidak peduli mana aseng, asing, asong dan asu.

Sebuah tontonan drama lucu di negeri antah berantah yang dengan sekecap menghipnotis penduduknya kehilangan nilai-nilai kebhinekaan.

Membangun Integrasi

Ditengah kondisi kebangsaan yang plural menjaga integrasi bangsa merupakan sebuah keharusan bagi seluruh elemen bangsa dalam mewujudkan kehidupan harmonis berbangsa dan bernegara. Negara harus hadir menciptakan politik hukum yang memihak terhadap kepentingan rakyat kecil, bukan hanya untuk penguasa dan konglomerat.

Menjaga persatuan dalam bingkai kebhinekaan  dibutuhkan adanya kesadaran bersama. Konsep  keadilan  yang dibutuhkan masyarakat  bukan hanya konsep keadilan distruktif atupun komutatif tetapi konsep keadilan yang dibutuhkan adalah konsep keadilan sosial. Menurut Mubyarto, pembangunan keadilan sosial adalah upaya untuk memperpendek jurang antara si miskin dan si kaya dan antara si kuat dan si lemah.

Biasaya Konflik dipicu dari dari perbedaan latar belakang etnik, suku budaya dan agama, perbedaan cara pandang tentang konsep toleransi dan harmoni pada setiap kelompok tertentu sering kali meruncing dan menjadi perdebatan terbuka. Masing-masing kelompok saling klaim kalau dirinya paling unggul diantara yang lain. Kalau itu terjadi maka akan menimbulkan konflik berkepanjangan antar etnik.

Oleh sebab itu, jika yang terjadi demikian maka diperlukan upaya untuk mereduksi gesekan-sesekan antar etnik dalam persoalan tersebut. Disamping itu perlu dilakukan usaha pelurusan tentang sebuah akar persoalan bahwa dalam tata nilai budaya tidak ada yang lebih unggul kerena setiap budaya memiliki keunggulan masing-masing sehingga tidak perlu saling klaim paling benar dan paling unggul.

Fenomena munculnya klaim kebenaran golongan tertentu harus ditiadakan karena akan merecoki persatuan dan kesatuan. Kasus-kasus klaim kebeneran biasanya sering muncul atas kebutuhan mendasar dan mendesak baik secara teologis maupun politis, walaupun lebih didominasi pada kebutuhan politis.

Menjungjung etika dan moral dalam sistem bernegara merupakan landasan paling utama untuk menjaga Indonesia dari perpecahan, karena bagaimanapun etika dan moral adalah nilai tertinggi yang dimiliki manusia.

Agama dan moral adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dari umat manusia, sebagaimana yang dikatan imam Ali bahwa “awal agama adalah pengetahuan tentang Tuhan (Teologi)” juga merupakan batu loncatan pertama bagi kemanusian. 

Artinya, konsep tentang etika dan moral tidak ada artinya tanpa dibarengi pengetahuan tentang Tuhan. Dalam konsep beragama, etika dan moral memiliki logika sendiri dalam mewujudkan kehidupan santun dan humanis. (*)

* Penulis adalah Miftahul Arifin, Ketua HMI Cabang Malang Bidang Perguruan Tinggi Kemahasiswaan dan Kepemudaan.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES