Kopi TIMES

Tuhan Para Pembenci

Minggu, 01 Januari 2017 - 06:00 | 76.91k
Ach Dhofit Zuhry, Ketua Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Al Farabi Malang. (Grafis: TIMES Indonesia)
Ach Dhofit Zuhry, Ketua Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Al Farabi Malang. (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTASELALU, akar dari pertikaian dan intoleransi yang mengatasnamakan agama dan menyeret-nyeret Tuhan adalah urusan perut dan kelamin. Demikian rilis terbaru Madzhab Kepanjen dalam refleksi Maulid Nabi, Natal dan Haul Gus Dur.

Betapa kita saksikan gelegak memuakkan dengan frame aksi bela agama dan kitab suci, mengawal fatwa, dan apapun ekspresi dangkal dan sempit lainnya mencerminkan bahwa penyakit waham dan fantasi beragama yang justru menistakan agama dan menghina Tuhan. 

Implikasinya, mereka ramai-ramai menyeret agama dan Tuhan dalam pusaran kebencian seenak perut dan kelamin mereka. Eksesnya, kebanyakan dari kita tak lagi membedakan mana perlu, mana panting dan mana yang mendesak. 

Bela agama itu abstrak, yang konkret adalah kemiskinan, bela Kitab Suci (apalagi dalam momentum politik) juga sangat maya, yang nyata adalah kebodohan dan pengangguran.

Mobilisasi massa dengan biaya ratusan miliyar tentu menjadi sangat mubadzir sebab Negara mengamankan aksi-aksi semu dengan pekik takbir ambigu itu dengan uang Rakyat. 

Bahkan, yang lebih menggelikan, memilukan dan memalukan, hanya di Indonesialah pakaian, atribut, roti dan televisi harus beragama dan syar'i, take a beer, takbir!

Jika ditelisik lebih dalam, kemungkinan terjauh sikap ugal-ugalan dan banalitas dalam beragama adalah berangkat dari: (1) Minimnya interfaith dialogue atau dialog lintas iman. 

Cara-cara beragama yang cengeng, fanatisme buta, pemahaman yang dangkal dan cara pandang yang kerdil dan jumud cenderung mengerucut pada eksklusivitas agama dan kelompok tertentu. 

Hanya agamanya yang benar, yang lain kafir; hanya kelompoknya yang punya kavling surga, sementara yang lain bahan bakar neraka. Dengan kata lain, yang tidak sepaham, sebangsa, sesuku dan seselera dengan mereka adalah musuh-musuh Tuhan. 

Pada episentrum ini, Kiai Maximilian Weber mengingatkan agar Negara dan otoritas agama menginisiasi dialog-dialog lintas iman sebagai bentuk penghargaan dan toleransi atas kebhinnekaan. Sangat boleh jadi mereka para pembenci adalah mereka yang menutup diri dengan mempertuhankan diri sendiri dan mempersetankan yang lain.

(2) Kesenjangan sosial. Jurang yang terlalu menganga antara kaya-miskin, terpelajar-primitif, jomblo-poligami, mustadh'afin-mustakbirin, proletar-pemodal tak ayal kerap menyeret manusia pada pusaran kebencian tak berujung, kedunguan tak terbendung. 

Benderang sekali bahwa kebanyakan si Miskin membenci si Kaya, terutama kalau si kaya ini ternyata China dan Kristen. Konsekuensinya, para pembenci mencari-cari legitimasi dari Kitab Suci, bahkan Tuhanpun dipaksa menjadi Pembenci seperti mereka. Lahirlah gerakan anti kafir besar-besaran, padahal semua yang mereka kenakan adalah buatan kafir. Lantas, nikmat kafir manakah yang masih kau dustakan?

(3) Lembaga keagamaan yang diinisiaai oleh Negara dan dilegitimasi oleh Penguasa. Kita tahu bahwa MUI didirikan oleh Haji Muhammad Soeharto pada 1970 semata untuk melegitimasi kepentingan monarki dan oligarkinya, karena memang ormas yang mainstream seperti NU dan Muhammdiyah berseberangan dengan rezim Orde Baru. 

Nah, belakangan lembaga tersebut sering menakut-nakuti orang dengan fatwa yang lucu dan aneh-aneh. Konon, tiap tahun lembaga itu mendapatkan 480 triliyun untuk lebelisasi dan sertifikasi halal dan tidak diaudit (Anda mau bilang "waw...!"). 

Pantaslah ketika 1999 presiden Gus Dur meminta Gus Mus untuk jadi ketua MUI, dengan setengah berkelakar Gus Mus menolak, "pagi saya dilantik, sore saya bubarkan MUI!"

Apapun itu, para pembenci adalah saudara kita yang tidak boleh kita benci, sangat mungkin mereka kita sadarkan, kita ajak dialog agar jenggot mereka lebih ilmiah dan toleran terhadap segala bentuk perbedaan dan jika perlu--ini jurus pamungkasnya--kasih mereka jabatan strategis, kasih mereka panggung agar tidak takbir di jalanan, angkat jadi Nabi jika perlu agar fantasi (dalam beragama) dan ilusi (dalam bernegara) mereka kian menjadi-jadi.

Dalam momentum Maulid dan Natal ini, ada baiknya kita merenungi firman Tuhan dalam sebuah hadits Qudsi: sabaqat rahmati 'ala ghadhabi (Aku selalu mendahulukan cinta kasih dari pada kebencian).

Nah, pertanyaan kampungan yang tersedia kemudian di depan hidung Anda adalah: siapakah Tuhan para pembenci itu? Tak lain, adalah diri mereka sendiri. Demikian, Kisanak. (*)

*Penulis adalah Ach Dhofit Zuhry, Ketua Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Al Farabi Malang

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES