Kopi TIMES

Pengharapan Menuju Bhinneka Tunggal Ika dalam Pluralisme

Sabtu, 31 Desember 2016 - 15:10 | 501.43k
Antono Wahyudi, Mahasiswa Program Magister Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang. (Grafis: TIMES Indonesia)
Antono Wahyudi, Mahasiswa Program Magister Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang. (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTATERMINOLOGI kafir dan penistaan serta Fatwa lembaga agama kerap menarik perhatian banyak orang. Tetapi, penulis lebih tertarik pada terminologi yang indah dan lebih mendasar, yaitu: PLURALISME. 

Apakah pluralisme? Sebelum menjawab dan masuk ke pluralisme, apakah eksklusi dan Asimilasi itu? Eksklusi berarti orang lain tidak boleh 'masuk' ke dalam ruang lingkup kita. Perspektif, agama, ras, dan ideologi orang lain tidak diperkenankan untuk eksis. Individu atau kelompok yang mencap kafir orang lain berada dalam pengertian eksklusi ini. 

Asimilasi berarti orang lain tidak boleh 'masuk' jika tidak 'menanggalkan' atau 'melepaskan' perspektif, agama, ras, dan ideologinya. Eksklusi dan asimilasi dengan sendirinya mengatakan absolutisme-totalitarian. Hanya ada satu kebenaran yang harus diyakini dan dilaksanakan oleh semua orang.

Plural berarti 'beragam'. Pluralisme adalah suatu paham mengenai keberagaman. Di Negara kita (khususnya lembaga agama?) ternyata masih ada yang gagal paham atau bahkan ketakutan karena menganggap bahwa pluralisme identik dengan relativisme.

Padahal, Pluralisme tidak identik dengan relativisme. Relativisme berarti menganggap semua perspektif, agama, ras, paradigma dan ideologi merupakan kebenaran yang sifatnya relatif (semuanya benar tergantung dari sudut pandang masing-masing individu, kelompok, dan konteksnya).

Dengan kata lain, kebenaran (agama, ras, paradigma, dan ideologi) relativisme tidak dapat diranking atau diurutkan mana yang paling baik dan benar. Semua dianggap baik dan benar. 

Sedangkan pluralisme masih memegang prinsip kebenaran dirinya, tetapi juga memahami dan menerima kebenaran orang lain. Kata kuncinya adalah "memahami" dan "menerima" kebenaran (agama, ras, paradigma dan ideologi) orang lain, tetapi tetap (masih) berpegang teguh pada prinsip keyakinannya.

Dimanakah letak Toleransi? Toleransi belum memasuki wilayah itu (belum dapat dikatakan 'memahami' kebenaran orang lain). Toleransi berarti "membiarkan" (dalam arti yang positif-etis) kebenaran yang lain untuk dapat eksis dan 'masuk' ke dalam ruang lingkup kebersamaan, hanya saja tanpa adanya upaya untuk 'memahami' kebenaran yang diyakini orang lain.

Wilayah toleransi, dengan demikian, masih dapat menimbulkan konflik. Sebab, ia belum tentu memahami untuk menerima. Misalnya: (1) Setiap perayaan Idul Adha umat Muslim memotong hewan (ratusan dan jutaan kurban).

Sekelompok aktivis lingkungan hidup tanpa ada suatu pemahaman tentang Idul Adha dapat mengecam (minimal memandang tidak baik) tindakan umat Muslim tersebut. Sebab, wilayah kepentingan lingkungan hidup 'tersentuh'. (2) Sebuah korporasi untuk meningkatkan omset perlu memasang atribut Natal kepada seluruh pegawai (baik non-muslim maupun muslim) agar dapat lebih menarik perhatian konsumen.

Karena wilayah privasi keagamaan pegawai muslim 'tersenggol' maka kaum fundamentalis dan lembaga agama jelas mengecamnya. Toleransi memang dapat 'membiarkan', tetapi masih memiliki syarat: asal tidak 'menyentuh' dan 'menyenggol' wilayah kepentingan maupun privasi dirinya. Inilah yang dapat menimbulkan konflik, dan sulit untuk menghindarinya karena kita hidup berdampingan dengan perbedaan itu sendiri.

Pertanyaan selanjutnya adalah, Bagaimana seorang yang toleran dapat "naik kelas" menjadi seorang yang pluralis?

Pluralisme berarti terlibat aktif untuk mau berupaya memahami (belajar) apa yang dianggap benar oleh orang lain. Untuk mendapatkan suatu pengetahuan dan pemahaman ini, dibutuhkan suatu relasi intersubjektif-dialogal.

Artinya, mau membangun dialog kepada orang lain yang berbeda keyakinannya. Dan, dari dialog ini, pada akhirnya dimunculkan suatu komitmen bersama: saling menghargai, menghormati dan menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan. Dengan kata lain, pluralisme berarti saling mempertemukan komitmen.

Misalnya: (1) Aku harus menunaikan ibadah shalat Jum'at, sehingga butuh meninggalkan pekerjaan lebih cepat. (2) Dia tidak dapat bekerja di hari sabtu, sebab hari itu khusus untuk beribadah di gereja. Kita saling sepakat. Kita saling memahami. Sebagaimana Aku meyakini kebenaran/keyakinanku, Aku juga Memahami dan Menerima kebenaran/keyakinanmu.

"Menerima" tidak ditempatkan dalam wilayah epistemologis (benar-salah), tetapi lebih pada wilayah moralitas (baik-buruk), sehingga kebenaran/keyakinanku tidak luntur seiring dengan kebenaran/keyakinanmu yang mendapatkan penghormatan dan penghargaan dariku. Demikian pluralisme.

Pluralisme tidak hanya itu. Barangkali, banyak yang tidak menyadari bahwa dialogalitas (komunikasi) merupakan kodrat manusia. Sebab, manusia tidak dapat hidup dalam kesendirian.

"Kehadiran" orang lain memproduksi nilai untuk dirinya. Salah satu pembelajaran yang Aku dapatkan (bukan dari seorang tokoh agama, tokoh politik, maupun tokoh pendidikan, tetapi rakyat biasa) adalah bahwa Bangsa Indonesia akan bisa bersatu jika kita tulus berteman kepada seseorang yang memiliki perbedaan keyakinan (agama, ideologi, paradigma, dan seterusnya).

Kita cenderung menjauhi orang-orang yang berbeda prinsip. Kita bahkan tak segan-segan untuk berkonflik dengannya. Yang dibutuhkan Bukanlah membangun bangsa dengan Satu Keyakinan (AGAMA) atau Satu Ideologi semata.

Sebab, jika demikian, kita akan jatuh terjebak pada keangkuhan dan kebekuan nalar demi membela Satu Kebenaran (absolutisme). Apapun kebenaran itu.

Dengan demikian, yang krusial adalah justru membangun dialog dengan orang yang berbeda prinsip, bukan dengan orang yang memiliki prinsip yang sama atau dengan orang yang "belum" memiliki prinsip.

Semua itu (berdialog dengan sesama prinsip atau belum ada prinsip) tidak salah dan tidak buruk, namun bukanlah sesuatu yang krusial untuk mempererat persaudaraan. 

Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia adalah bangsa yang pluralis, sehingga yang dibutuhkan adalah dialog. Ketika orang berdialog dengan orang yang berbeda prinsip, ia dengan sendirinya membangun sebuah persahabatan. Persahabatan berarti mendengarkan, menghargai, menghormati, dan memahami.

'Memahami' merupakan syarat pluralisme. 'Memahami' berbeda dengan mengetahui. Seseorang yang memiliki pengetahuan yang luas, belum tentu memiliki pemahaman. Sebab, ia hanya memiliki banyak "data" semata, tanpa pemaknaan. 

'Memahami' berarti mendapatkan "makna". Makna itu 'tersembunyi' dibalik data. Ilmu yang mempelajari tentang 'memahami' disebut 'hermeneutika'. Ada begitu banyak metode memahami, dan semuanya semata untuk mendapatkan makna.

Sayangnya, masih ada (lembaga agama?) yang menganggap ilmu ini sesat. Dan ini menjelaskan bahwa banyak yang tidak memahami makna yang terkandung di dalam samudera kehidupan yang plural ini. 

Kodrat manusia sebetulnya juga adalah memahami. Setiap detik nafas kita adalah bentuk memahami. Ketika kita berpikir, melihat, menyentuh, mencium, mendengar sesuatu kita sedang mencoba untuk memahami. Begitu juga dengan menonton TV, membaca buku, membaca status di FB, melihat-lihat gambar di IG, berinteraksi dengan teman, bahkan ketika kita sedang sendiri berdiam diri.

Segala bentuk aktivitas berarti 'memahami'. Tanpa pemahaman berarti ketidaksadaran. Orang yang tidak sadar tetapi tetap beraktivitas adalah orang yang 'hanyut' terbawa derasnya arus kenyamanan eksklusi (dogmatisme-totalitarian). Otentisitas kemanusiaannya redup dalam dirinya. Agar dapat terang kembali, kita perlu memahami. Dalam kasus penistaan agama misalnya, dengan ilmu memahami kita dapat memahami mana yang memang merupakan penistaan agama dan mana yang bukan.

Dalam kontra-produktif fatwa-fatwa lembaga agama, itu hanyalah merupakan alternatif kehidupan atas pemahaman para penafsir. Jika kita memahami mana yang pantas dan mana yang tidak, kita tidak lagi perlu emosional menanggapi fatwa-fatwa yang tidak rasional. Apalagi mengikutinya. 

Kita bisa melawan jika fatwa-fatwa irasional itu berbentuk pemaksaan. Sebab, jika tidak, itu berarti kita tidak sadar (tidak memahami) dan kita dapat terjebak pada eksklusi dan asimilasi.

Jika eksklusi berarti orang lain tidak boleh 'masuk', dan asimilasi berarti orang lain tidak boleh 'masuk' jika tidak 'menanggalkan' perspektif, agama, ras, paradigma dan ideologinya, maka pluralisme berarti 'mempersilahkan' kebenaran (perspektif, agama, ras, paradigma dan ideologi) yang lain untuk 'masuk' atau eksis dengan menjadi dirinya sendiri tanpa intervensi apapun, tetapi dengan komitmen bersama membangun kesepakatan serta membentuk orkestra kehidupan yang harmonis. 

Bukankah itu (pluralisme) artinya hidup dalam ranah BHINNEKA TUNGGAL IKA? Lantas, dimanakah posisi Anda, posisi Kita, posisi Negara Kesatuan Republik Indonesia berada? Eksklusi? Asimilasi? Ataukah Pluralis? 

Konseptualisasi BHINNEKA TUNGGAL IKA masih dirasa sebatas jargon belaka. Dengan demikian: Pengharapanku pluralisme menjadi konkrit. Pengharapanku kita dapat menerima bukan sekedar 'nrimo'... Pengharapanku dialogalitas dikedepankan... Pengharapanku persahabatan menjadi prioritas... Pengharapanku kita bisa saling memahami... Pengharapanku, minimal, setidaknya kita bisa menjadi Bangsa yang mengedepankan toleransi, tetapi tetap memiliki kesadaran dan hasrat untuk terus memperbarui diri tanpa berpuas diri...

Ya, minimal, setidaknya demikian... SELAMAT MENYAMBUT PENGHARAPAN BARU DI TAHUN 2017.

*Penulis adalah Antono Wahyudi, Mahasiswa Program Magister Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES