Kopi TIMES

Satu Misi untuk Indonesia

Jumat, 28 Oktober 2016 - 06:46 | 224.05k
Muhammad Hasan Chabibie S.T., M.Si.
Muhammad Hasan Chabibie S.T., M.Si.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – 'Ik heb een eleganter formulering voor de resolutie (Saya memiliki kata-kata yang lebih elegan untuk resolusi). Kalimat itu diucapkan Mohammad Yamin (1903-1962) kepada Soegondo sembari mengangsurkan secarik kertas yang berisi tulisan tangan.

Saat itu, 28 Oktober 1928, Mr. Soenario (1902-1977) tengah berpidato di sesi terakhir Kongres Pemuda ke-2 yang dihelat di Batavia (Jakarta). Yamin yang tengah menyimak lantas merangkai kalimat. Kelak, tulisan tangan Yamin itulah yang dibacakan di akhir kongres dan dikenal dengan Sumpah Pemuda.  

Menjelang 28 Oktober, selalu ada tanya yang menggelayut di benak penulis. Bagaimana kita mengaktualisasikan Sumpah Pemuda?
Bila kita mundur ke masa lalu, ada situasi yang menjadikan para pemuda dan pemudi di wilayah Hindia Belanda untuk bersatu. Mereka menggelar kongres guna menyatukan cita-cita perjuangan mewujudkan negara baru bernama Indonesia. Ada satu kata kunci yang berkumandang kencang: kemerdekaan!.

Penting untuk disadari, Sumpah Pemuda yang diucapkan di sebuah gedung pertemuan di Jalan Kramat Raya Jakarta pada 88 tahun silam merupakan sumpah sakral. Hanya tiga poin pernyataan yang diucapkan. Namun sumpah tersebut berhasil menggetarkan serta menggerakkan perjuangan melawan penjajahan. Para pemuda dan pemudi digerakkan oleh semangat persatuan, nasionalisme, serta kesadaran untuk memerdekakan Indonesia.

Semangat dan kesadaran itu tidak hadir dengan tiba-tiba. Ada proses serta situasi yang membentuknya. Di masa itu, para aktivis tumbuh dan berkembang dari lingkaran terdidik. Pendidikan kolonial yang berkiblat ke barat turut berkontribusi membangun pemahaman tentang esensi kemerdekaan. Angin demokrasi dan kebebasan yang berhembus kencang di negara-negara barat menjadi referensi penting bagi kaum terdidik ini untuk menggelorakan kemerdekaan.

Saatnya Menyatukan Misi

Kini, setelah 88 tahun Sumpah Pemuda yang fenomenal itu, kita dihadapkan pada tantangan baru. Kala kemerdekaan telah direngkuh dan negara sudah berdiri kukuh, apa yang bisa menjadikan Indonesia kita senantiasa teguh?

Kemerdekaan yang kita rasakan hingga hari ini punya makna yang sangat esensial. Profesor Dr. Nicolaus Driyarkara SJ (1913-1967) menyebut, kemerdekaan berarti menjunjung tinggi diri sendiri serta mengerti tanggung jawabnya. Kita selaku manusia adalah Pribadi yang harus berkembang menjadi Kepribadian. Kepribadian ini berarti berdaulat yakni memiliki kemerdekaan dalam tingkat kesempurnaan yang tinggi. Setiap manusia adalah suatu factum. Ia adalah “terbentuk”, ia adalah terbangun.

Sangat tepat kiranya penggalan lirik lagu Indonesia Raya; bangunlah jiwanya, bangunlah raganya. Ada dua dimensi yang harus dibentuk dan dibangun sekaligus yakni jiwa dan raga. Kalau sebatas raga yang dibangun, Indonesia hanya melahirkan pribadi-pribadi yang kosong. Meaningless people (pribadi yang tak punya makna) inilah yang berpotensi mengalami disorientasi hidup dan gagal berkepribadian.

Karenanya, harus ada misi yang dijadikan penyemangat dalam membangun jiwa dan raga manusia Indonesia. Misi ini merupakan aktualisasi dari Sumpah Pemuda.

Semangat dasar Sumpah Pemuda adalah nasionalisme. Yakni rasa cinta kepada tanah air. Jika 88 tahun silam, Sumpah Pemuda telah menyatukan para aktivis bangsa, sekarang ini harus ada misi yang menyatukan seluruh anak bangsa.

Pembukaan UUD 1945 yang diamandemen secara jelas menegaskan adanya satu janji yang harus selalu dipenuhi penerus bangsa ini. Janji itu adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Bila ditelaah, upaya mencerdaskan kehidupan bangsa ini senapas dengan semangat pada pegiat Kongres Pemuda ke-2 pada 1928 silam.

Barometer semangat untuk merdeka berbanding lurus dengan jumlah kaum terdidik. Berikutnya, upaya merawat kemerdekaan dalam bingkai kebhinekaan kita juga akan berbanding lurus dengan pemerataan akses pendidikan bagi warga negara Indonesia.

Seluruh praktisi pendidikan di seluruh jenjang dituntut berkontribusi nyata untuk mencerdaskan anak didiknya. Misi akan berjalan dengan baik apabila sektor pendidikan diisi oleh pribadi-pribadi yang kuat. Pribadi yang mau berpikir dan berbuat “merdeka”.
Hadirnya teknologi menjadikan seluruh pelaku pendidikan di Indonesia kian merdeka. Interkonektivitas yang semakin mudah dan murah merupakan wujud nyata “memerdekakan” pertukaran pesan dan spirit di antara pelaku pendidikan. Ada begitu banyak lesson learned yang bisa dibagikan kepada sesama pelaku. Lesson learned sharing ini bisa menjadi aktivitas penting guna mengawal gerakan “menyatukan misi untuk Indonesia”.

Pilihan politik boleh berbeda, isu SARA bisa saja tetap mengemuka. Namun mendidik dan pendidikan harus tetap utama. Sebagaimana ditegaskan Tan Malaka, merdeka bukan sebatas terbebas dari penjajahan fisik. Merdeka adalah melepaskan diri dari kolonialisme mental yang akut. Hanya dengan pendidikan yang berbasis ke-Indonesia-an, misi untuk membayar janji hutang kemerdekaan bisa ditunaikan. (*)

 

Oleh: Muhammad Hasan Chabibie S.T., M.Si.

*M. Hasan Chabibie, S.T, M.Si, Praktisi Pendiddikan. 

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Munawir Aziz
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES