Olahraga

Tantangan Besar bagi Pecinta Bola Indonesia

Rabu, 26 Oktober 2016 - 00:01 | 80.98k
Membangun pemain-pemain masa depan dengan sungguh-sungguh dan bersatu-padu. (Foto: Media Center Kendedes)
Membangun pemain-pemain masa depan dengan sungguh-sungguh dan bersatu-padu. (Foto: Media Center Kendedes)

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Rasanya, emosi jiwa sepakbola Nusantara perlu diubah. Persaingan antarkota yang di abad XX begitu kental dan cenderung anarkis, memasuki dekade II abad XXI perlu diubah menjadi persaingan antarpulau yang lebih sehat dan berprestasi.

Jawa Timur (Jatim) menjadi barometer perkembangan sepakbola nasional karena memiliki paling banyak klub level ISL. Akan tetapi, mengapa kekuatan-kekuatan sepakbola Jatim saling bergesekan dalam arus dendam kesumat yang sepertinya tiada akhir. Mereka mengabaikan kepentingan Merah Putih di pentas internasional. Nyanyian: “...... dibunuh saja” berkumandang di mana-mana. Kata bunuh seperti tanpa dosa.

Apakah hal seperti ini akan terus menerus diwariskan kepada generasi-generasi mendatang?

Inilah pertanyaan besar kepada semua pihak yang masuk dalam barisan para pecinta sepakbola Indonesia.

Di satu sisi, kita semua menuntut dan mendambakan sepakbola Indonesia semakin berprestasi di pentas Asia Tenggara dan Asia, bahkan Dunia. Di sisi lain, kita “saling bunuh.” Padahal generasi mendatang sama sekali tidak menyandang emosi konflik ayah dan kakeknya. 

Kini, Pulau Sulawesi hanya memiliki satu-satunya klub ISL, yaitu Juku Eja PSM. Pulau Kalimantan masih cukup kokoh. Dulu mereka memiliki Persiba Balikpapan, Barito Putera dan PKT Bontang. Kini mereka masih memiliki Persiba Balikpapan, Mitra Kukar, dan Pusamania Borneo.

Pulau Sumatera dulu memiliki PSMS Medan, PSDS Deli Serdang, PSP Padang, dan PS Bengkulu, kini hanya memiliki Semen Padang dan Sriwijaya FC.

Papua dan Papua Barat dulu memiliki Persipura dan Perseman Manokwari dan Persiwa Wamena, kini memiliki Persipura, Perseru Serui, dan Persiram Raja Ampat (yang kini diakuisisi PS TNI).

Bandingkan dengan Provinsi Jatim – sebagian dari Pulau Jawa - yang memiliki Madura United, Arema Cronus, Bhayangkara FC, Persegres Gresik United, dan Persela Lamongan. Andai nanti Persebaya diakui kembali oleh PSSI dan berhasil promosi ke level ISL, maka Jatim punya 6 klub elite. Luar biasa!

Masalahnya, mengapa kekuatan-kekuatan hebat di Jatim terlena dalam arus permusuhan? Padahal, kalau mereka bersatu-padu, mulai dari sektor manajemen, pelatih dan pemain, serta para suporternya, maka Jatim sangat mungkin jadi pusat produksi bintang muda level Asia! 

Jatim bisa membangun satu AKADEMI SEPAKBOLA JAWA TIMUR (ASJT) LEVEL DUNIA. Setiap klub menyisihkan Rp 1 miliar. Ini sangat mungkin, karena menurut manajer Madura United, Haruna Soemitro: “Setiap klub peserta Torabika Soccer Championship A 2016 memperoleh dana Rp 11 miliar sampai Rp 15 miliar dari sponsor.” Suntikan dana tersebut diharapkan akan tetap ada dalam kompetisi-kompetisi mendatang.

Maka, tiap tahun terkumpul Rp 6 miliar untuk mendanai ASJT. Cari tanah yang luas dan bangun enam lapangan standar FIFA. Bangun juga mess-nya. Pemerintah wajib memberikan bantuan baik dalam kemudahan pengurusan tanah dan infrastruktur berupa jalan masuk dan lampu penerangan komplex ASJT. 

Para siswanya sejak di bawah usia 10 tahun mendapat asupan gizi atlet kelas dunia. Semua pelatihnya berlisensi A dan menerapkan kombinasi modul pembinaan sepakbola Jerman dan Spanyol. Betapa hebatnya Jatim bila seluruh kekuatan sepakbolanya bersatu padu. 

ssb-1UJyd2.jpg

SSB Ken Arok yang mewakili Jatim di Aqua Danone Nations Cup 2013. (Foto goal)

Para bintang muda produksi ASJT ini kelak akan menyusutkan peran pemain asing yang jelas-jelas gagal mengangkat prestasi sepakbola Indonesia. Puluhan tahun mereka di sini, puluhan tahun pula mereka tidak memberikan manfaat apapun. Dinaturalisasikan pun ternyata gagal juga. Nol besar!

Daripada dana puluhan miliar terbuang sia-sia kepada pemain asing, lebih baik kita berikan kepada putra-putra kita sendiri. Peran pelatih asing pun wajib kita kurangi sampai ke tahap sekecil-kecilnya.

Lihatlah pelatih-pelatih asing klub yang ikut ISC 2016. Mana nilai plusnya? Siapa yang bisa dengan signifikan menaikkan mobilitas para pemain dalam pertandingan? Tidak ada!! Padahal hal inilah yang dulu dilakukan oleh Anatoly Polosin yang sukses membawa Timnas Indonesia ke tahta juara SEA Games 1991.

Pemborosan luar biasa telah terjadi dalam perikehidupan klub-klub level ISL. Boros dan gagal prestasi. Kita hanya puas menjadi juara domestik, tapi tidak berani berkaca diri dan berjuang keras untuk merevolusi pembinaan sepakbola nasional. Dari tataran usia dini sampai senior (dan profesional). 

ssb-27Yr2O.jpg

Aksi para siswa SSB di lapangan. (Foto blogSSB)

Di sinilah peran utama ASJT sebagai motor revolusi pembinaan sepakbola Indonesia. ASJT bisa melakukan talent scouting ke luar daerah dan luar pulau. Output-nya – ketika siswa usia sekitar 17 tahun - diatur untuk dibagi adil kepada klub-klub yang andil. Kalau ada klub lain berminat, maka mereka wajib membayar solidarity fee minimum Rp 50 juta atau Rp 100 juta, monggo diatur.

Tiba saatnya untuk membangun kekuatan moral yang konstruktif, kooperatif, dan nyata. Jangan biarkan unsur-unsur negatif yang meretakkan kekuatan Jatim merambah di segala zaman. Sangat menyedihkan. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Publisher : Ahmad Sukmana
Sumber : CoWasJP.com

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES