Kopi TIMES

Kitab Kuning dan Sepakbola

Jumat, 21 Oktober 2016 - 23:15 | 301.86k
Ilustrasi. Liga Santri Nusantara 2016. (Foto: ligasantrinusantara.com)
Ilustrasi. Liga Santri Nusantara 2016. (Foto: ligasantrinusantara.com)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Mungkin agak aneh bagi pembaca ketika kata ‘santri’ disandingkan dengan kata ‘liga’, di mana keduanya bukanlah padanan kata (sinonim) ataupun lawan kata (antonim). Saat mendengar kata ‘santri’, maka yang tergambar dalam pikiran adalah sekolompok anak yang belajar agama di sebuah komplek pesantren dengan pakaian khas sarung dan peci sembari mengkaji dan mendiskusi kitab kuning/salaf.

Saat mendengar kata ‘liga’, pada umumnya langsung tertuju pada sebuah laga atau pertandingan sepak bola profesional dengan seragam kaos dan celana pendek serta sepatu sepak bola.  Sungguh sebuah kata yang bisa dikata hampir tidak mungkin bisa disandingkan, melihat pengertian keduanya, memiliki konteks yang berbeda.

Walaupun ada santri bermain bola, mungkin hanya sepak bola yang sesuai dengan kondisi lingkungannya yang serba apa adanya. Memakai sarung atau celana sekolah serta kopiah, di lapangan yang ala kadarnya. Ini karena pesantren memang sebuah lingkungan yang menitik beratkan terhadap Tafaqqahu fiddin --- pengkajian ilmu agama, kemandirian, kesederhanaan, dan keluhuran moral (akhlakul karimah).

Fakta baru tentang bola dan santri telah dimulai pada tahn 2015. Pada saat itu telah bergulir sebuah kompetisi sepak bola yang murni melibatkan kaum santri usia 18 tahun. Tak tanggung-tanggung ukuran liga diikuti 192 pesantren dari 18 provinsi se-Indonesia. Dalam sejarah sepak bola Indonesia mungkin inilah liga yang paling besar atau bahkan dunia.

Lebih jauh lagi, adanya liga santri ini bukan semata-mata inisiasi kerjasama antar pesantren se-nusantara, tapi murni program Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia yang bekerjasama dengan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) melalui badan otonom NU-Rabithah Ma’hady Islamiyah (RMI). Bahkan konon sudah menjadi program tetap tahunan Kementerian Pemuda dan Olahraga.

Hal ini terbukti dengan bergulirnya kembali Liga Santri Nusantara (LSN) pada bulan Agustus 2016 kemarin. Kickoff Nasional berlangsung di Stadion Persiba Balikpapan, Kalimantan Timur, pada tanggal 19 Agsutus 2016. Yang dihadiri langsung oleh Ketua Umum PBNU KH. Said Aqil Siraj, Ketua RMI Pusat sekaligus Ketua Panitia LSN KH. Abdul Ghafur Rozin.

Tak kalah sensasinya dengan LSN tahun 2015, LSN tahun ini diikuti sekitar 1000 pondok pesantren dari 32 provinsi se-Indonesia. Sungguh sebuah liga yang layak mendapat penghargaan MURI kategori liga terbesar di sepanjang sejarah sepak bola nasional atau bahkan internasional.

Lalu bagaimana dengan santri yang bisa dibilang tak pernah menyentuh lapangan hijau tempat digelarnya sepakbola secara profesional. Sebelumnya santri hanya dikenal mampu menggelar sajadah di masjid, sembari membolak-balik tipisnya halaman kitab salaf berupa nadham Imrithi, Al-fiyah, atau hanya Amtsilatut-tashrif saja.

Berkat pergumulan santri dengan khasanah keilmuan salaf (kitab kuning) tersebut, berhasil menjadi sumber inspirasi bagi para santri dalam mengaktualisasikan keterampilannya mengolah bola di lapangan hijau.
Liga Santri Nusantara menjadi motivasi tersendiri bagi para santri untuk turun ke lapangan untuk menampilkan, melatih, dan mempertandingkan kemampuan dan keterampilannya mengolah si kulit Bundar.

Terbukti dari sekian perhelatan LSN, santri tak hanya lincah memaknai kitabnya, tapi juga lincah memaknai gerakan teman dalam menyusun serangan terhadap lawan. Kefasihan santri membaca kita kuning juga ditunjukan dengan kefasihan santri membaca strategi lawan.

Tak hanya itu, keindahan santri melantunkan bait-bait nadham di pesantren juga ditunjukkan bagaimana santri melakukan indahnya Dribbling, teknik menggiring bola di lapangan, termasuk Bicycle Kick, tendangan akrobatik ke gawang lawan atau lebih dikenal tendangan salto.

Santri tak kaku, tak canggung, ataupun pasif ketika diturunkan ke lapangan sepakbola. Justru santri begitu aktif menikmati, mengusai, memainkan segala macam menu yang berkaitan dengan sepakbola. Seolah-olah yang ada dan dibutuhkan di lapangan sudah tersedia lengkap di pesantren.

Para santri tinggal menunjukkan tingkat kecerdasan dan keterampilannya dalam pertandingan. Misalnya dalam hal sportivitas dan fair play, santri selalu menerima kalah atau menang dalam pertandingan, saat dikeluarkan dari lapangan oleh wasit karena kena kartu merah, santri tetap menghormati wasit dengan mencium tangannya.

Hal itu, tak lepas dari tradisi pesantren yang jadi penempaan dirinya, menjalankan tugas dan mematuhi perintah sosok kiai sebagai pengasuh pesantren. Ketika santri dipanggil oleh kiai untuk mendapat perintah ataupun menerima sanksi dari sang pengasuh, santri akan tetap takdim dan menghormati dengan mencium tangannya. Begitulah cara santri memandang keduanya, kiai dan wasit. Meski beda posisinya, tapi bagi santri wasit adalah kiai di lapangan, dan pengasuh adalah kiai di pesantren.

Semoga dengan adanya liga santri menjadi langgam baru dalam pembinaan sepakbola Indoensia menuju prestasi nasional bahkan internasional. Selain itu diharapkan santri mampu berkiprah dan mengabdi di segala lini kehidupan bangsa dan negara, menjadi generasi yang sesuai dengan penggalan lagu Indonesia Raya “ Bangunlah jiwanya, bangunlah raganya untuk Indonesia Raya”.
Selamat menyambut Hari Santri Nasional.

Noer Yadi Izzul Haq: Pemerhati Pesantren dan Pengelola Website LSN.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Siska Febrina

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES