Kopi TIMES

Memasyarakatkan Wawasan Kebangsaan di NKRI

Kamis, 29 September 2016 - 10:30 | 305.90k
Supoyo, SH, MM Tokoh Masyarakat Tengger - Probolinggo. (Grafis: TIMES Indonesia)
Supoyo, SH, MM Tokoh Masyarakat Tengger - Probolinggo. (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, PROBOLINGGOFRASE wawasan kebangsaan, tentu bukan barang aneh atau asing bagi kita. Frase itu sering muncul dalam momen-momen tertentu seperti peringatan Hari Kebangkitan Nasional, HUT Kemerdekaan Republik Indonesia, dan peringatan hari besar lainnya di koran, internet, radio, televisi maupun media lainnya.

Tapi, apa makna dari frase tersebut ternyata tak semua tahu. Survei tentang Pandangan Masyarakat terhadap Kehidupan Bernegara yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia di tahun 2011, menjadi buktinya.

Survei yang dilakukan di 181 kabupaten/kota di 33 provinsi dengan jumlah responden sebanyak 12.056 orang itu menunjukkan pada kita tentang minimnya wawasan kebangsaan masyarakat Indonesia.

Survei itu memberi tahu kita bahwa 10 persen masyarakat tidak mampu menyebutkan sila-sila dalam pancasila secara lengkap. Kemudian, masyarakat yang tahu tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Bhinneka Tunggalika sebagai pilar kehidupan berbangsa dan bernegara, ‘hanya’ sekitar 67,78 persen.

Survei itu juga menunjukkan, 49 persen remaja Indonesia tidak lagi mengakui relevansi Pancasila sebagai dasar negara. Survey tersebut dilakukan atas perintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Frase wawasan kebangsaan terdiri dari dua kata: ‘wawasan’ dan ‘kebangsaan’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ‘wawasan’ berarti: hasil mewawas, tinjauan, dan pandangan. Kata itu dapat juga berarti konsepsi cara pandang.

Kemudian kebangsaan, berasal dari kata ‘bangsa’ yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti kelompok masyarakat yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya, serta berpemerintahan sendiri.

Sedangkan “kebangsaan” mengandung arti: ciri-ciri yang menandai golongan bangsa; perihal bangsa, mengenai (yang bertalian dengan) bangsa; dan kesadaran diri sebagai warga dari suatu negara.

Dengan demikian, wawasan kebangsaan dapat dimaknai sebagai konsepsi cara pandang—yang dilandasi akan kesadaran diri sebagai warga dari suatu negara—akan diri dan lingkungannya di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan berpedoman pada falsafah Pancasila dan UUD 1945.

Wawasan kebangsaan menentukan cara bangsa mendayagunakan kondisi geografis negara, sejarah, sosio-budaya, ekonomi dan politik, serta pertahanan dan keamanan dalam mencapai cita-cita dan menjamin kepentingan nasional.

Wawasan kebangsaan yang juga disebut wawasan nusantara, menentukan bangsa menempatkan diri dalam tata berhubungan dengan sesama bangsa dan dalam pergaulan dengan bangsa lain di dunia internasional.

Wawasan kebangsaan juga mengandung komitmen dan semangat persatuan untuk menjamin keberadaan dan peningkatan kualitas kehidupan bangsa dan menghendaki pengetahuan yang memadai tentang tantangan masa kini dan masa mendatang serta berbagai potensi bangsa.

Bila ditarik ke belakang, wawasan ini lahir ketika bangsa Indonesia berjuang membebaskan diri dari segala bentuk penjajahan, seperti penjajahan oleh Portugis, Belanda, dan Jepang. Berupa kesadaran dari perjuangan yang bersifat lokal, menuju perjuangan yang berlandaskan persatuan dan kesatuan dari seluruh bangsa.

Kesadaran tersebut mendapatkan bentuk dengan lahirnya pergerakan Budi Utomo, 20 Mei 1908 yang merupakan tonggak awal sejarah perjuangan bangsa yang bersifat nasional. Kemudian disusul dengan lahirnya gerakan-gerakan kebangsaan di bidang politik, ekonomi/perdagangan, pendidikan, kesenian, pers dan kewanitaan.

Tekad perjuangan itu lebih tegas lagi dengan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928 dengan ikrar: Satu Nusa, Satu Bangsa, dan menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa Indonesia. Wawasan kebangsaan tersebut kemudian mencapai satu tonggak sejarah dengan proklamasi kemerdekaan, 17 Agustus 1945.

Memahami serta mempedomani secara baik ajaran yang terkandung di dalam konsepsi wawasan kebangsaan, akan menumbuhkan keyakinan dan kepercayaan dari setiap warga bangsa tentang posisi dan peran masing-masing ditengah-tengah masyarakat yang serba majemuk.

Sebaliknya bila tidak dipahami dan tidak menjadi pedoman, karakter kebangsaan bisa memudar.  Kemudian muncul krisis kepercayaan diri dan rasa hormat diri sebagai bangsa. Yaitu berupa keraguan terhadap kemampuan diri sebagai bangsa untuk mengatasi persoalan-persoalan dan tantangan yang dihadapi.

Bila krisis kepercayaan diri sampai terjadi, maka eksistensi Indonesia sebagai bangsa sedang dipertaruhkan. Karena itu, mau tak mau wawasan kebangsaan harus tertanam dan ditingkatkan dalam masyarakat secara terus menerus dan berkesinambungan. Utamanya di era globalisasi saat ini kepada generasi muda.

Upaya itu bisa dilakukan antara lain dengan pemasyarakatan wawasan kebangsaan melalui sosialisasi kepada masyarakat Indonesia. Langkah ini, antara lain bisa dilakukan melalui media massa untuk menanamkan optimisme berbangsa dan bernegara.

Mengintegrasikan wawasan kebangsaan ke dalam kurikulum di semua jenjang pendidikan. Memasukkan wawasan kebangsaan ke dalam program pendidikan dan latihan bagi calon pegawai. Baik di lembaga negera atau swasta.

Pelibatan guru, dosen, tokoh masyarakat, dan tokoh agama dalam upaya sosialisasi dan edukasi nilai-nilai wawasan kebangsaan. Serta adanya rule model yang baik yang dikakukan oleh para elit politik dan pemimpin bangsa. (*)

* Supoyo, SH,MM adalah Tokoh Masyarakat Tengger - Probolinggo.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES