Ekonomi

Terserang Antraknosa, Petani Cabai Terancam Gagal Panen

Selasa, 20 September 2016 - 15:16 | 180.54k
Cabai merah milik Mohamad Sholeh yang terserang antraknosa. (Foto: Mahrus Sholih/TIMESIndonesia)
Cabai merah milik Mohamad Sholeh yang terserang antraknosa. (Foto: Mahrus Sholih/TIMESIndonesia)

TIMESINDONESIA, JEMBER – Tanaman cabai merah besar di Kecamatan Wuluhan, Kabupaten Jember, Jawa Timur, terserang penyakit antraknosa, sehingga membuat banyak buah cabai yang membusuk kemudian mengering. Jika kondisi ini terus dibiarkan maka petani terancam gagal panen.

Salah satu petani, Mohamad Sholeh mengatakan, petani tak bisa berbuat banyak dengan serangan penyakit itu. Meski sejumlah cara telah dilakukan petani untuk menanggulangi antraknosa.

“Sebenarnya kami sudah mengurangi unsur nitrogen dan menanggulanginya menggunakan fungisida, tapi hasilnya belum maksimal,” katanya, Selasa (20/9/2016) siang.

Penyakit antraknosa yang oleh petani dikenal sebagai antraknus atau patek disebabkan oleh cendawan colletotricum capsici dan colletotricum piperatum. Gejala serangannya ialah muncul bercak-bercak pada buah, buah menjadi kehitaman dan membusuk, kemudian rontok.

Menurut Sholeh, serangan penyakit itu membuat produksi cabai petani menyusut. Jika kondisi normal, tiap hektar mampu menghasilkan antara 20 ton hingga 25 ton cabai. Namun akibat serangan antraknosa produksinya merosot tajam hingga cuma 1 ton per hektar.

“Mungkin sepekan kedepan tanaman cabai yang terserang antraknosa akan mati sehingga petani bisa gagal panen,” ujarnya.

Meski tak berhasil, Sholeh berkata, upaya penanggulangan telah dilakukan dengan melakukan penyemprotan fungisida selama 3 hari sekali. Serangan penyakit ini juga terjadi hampir ke seluruh petani cabai merah besar di desanya.

Sementara itu, kondisi berbeda dialami sejumlah petani cabai merah besar di Dusun Adongsari, Desa Watu Kebo, Kecamatan Ambulu.

Meski tanamannya selamat dari serangan penyakit, para petani disini terpaksa menjual murah cabainya seharga Rp 8 ribu per kg. Padahal harga umum ditingkat petani untuk saat ini Rp 10 ribu per kg.

Mulyadi, salah seorang petani setempat menuturkan, kondisi ini disebabkan petani cabai merah di daerahnya terikat kontrak perusahaan pengolah makanan, yang dia sebut kemitraan. Hal itu sudah berlangsung sejak periode-periode sebelumnya.

Menurutnya, alasan para petani cabai merah menjalin kemitraan adalah untuk mengantisipasi kerugian jika sewaktu-waktu harga cabai merah merosot tajam.

“Harga yang berlaku antara petani dengan perusahaan mitra adalah harga kesepakatan awal, yaitu sebelum masa bercocok tanam dilakukan. Keuntungannya, ada kesetabilan terhadap fluktuasi harga cabai merah,” tuturnya.

Mulyadi mencontohkan saat musim panen tahun lalu misalnya, harga cabai merah terus merosot hingga Rp 5 ribu per kg, namun milik petani kemitraan tetap dihargai Rp 8 ribu hingga Rp 9 ribu per kg.

Namun, Mulyadi menambahkan, ketika harga cabai merah melonjak tajam pada kisaran Rp 25 ribu hingga Rp 30 ribu per kg menjelang Idul Adha kemarin, para petani terpaksa melepas cabai miliknya dengan harga tetap yakni Rp 8 ribu hingga Rp 9 ribu tiap kg.

“Keuntungan lainnya, petani bisa utang untuk biaya produksi awal kepada perusahaan mitra. Untuk bibit, pupuk dan plastik mulsa kami juga bisa mendapatkan dari perusahaan mitra. Kelak biayanya akan dipotong dari hasil panen,” katanya. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Publisher : Ahmad Sukmana

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES