Peristiwa Daerah

Lebih Menguntungkan, Petani Memilih Tanam Tembakau Lokal

Jumat, 26 Agustus 2016 - 09:52 | 188.88k
Sutrisno, saat merajang tembakau jenis lokal di rumahnya, Dusun Kedung Sumur, Desa Jamberum, Kecamatan Puger, Jember, Jawa Timur. (Foto: Mahrus/TIMESIndonesia)
Sutrisno, saat merajang tembakau jenis lokal di rumahnya, Dusun Kedung Sumur, Desa Jamberum, Kecamatan Puger, Jember, Jawa Timur. (Foto: Mahrus/TIMESIndonesia)

TIMESINDONESIA, JEMBER – Petani tembakau di Kecamatan Puger, Kabupaten Jember, Jawa Timur, memilih menanam tembakau lokal karena perawatannya mudah dan lebih menguntungkan bila dibanding jenis tembakau pabrikan.

Di Kecamatan Puger, jenis tembakau ini bisa ditemui di Dusun Kedung Sumur, Desa Jambearum, serta sejumlah Dusun Kedung Sumur dan Dusun Krajan di Desa Bagon.

Sutrisno, seorang petani tembakau lokal mengatakan, awal mula dirinya menanam tembakau ini karena pernah merugi akibat menanam tembakau jenis naa oogst pada medio 2002 lalu.

Setelah sempat berhenti menanam tembakau beberapa tahun, kemudian dia beralih menanam tembakau jenis lokal sejak 4 tahun terakhir.

“Karena harganya lebih tinggi dan perawatannya lebih mudah. Sebab konsumennya juga lokal, seperti petani dan warga tetangga desa. Tapi ada juga yang dijual keluar daerah, seperti ke Kabupaten Lumajang dan Probolinggo,” katanya, saat ditemui TIMESIndonesia, Jumat (26/8/2016).

Berbeda dengan tembakau pabrikan, petani tembakau lokal menjual tidak menggunakan ukuran berat, melainkan bendel. Petani menyebutnya dengan istilah godor, jika dikonversi ke berat, satu godor bisa mencapai 2,2 kilogram.

Godor adalah bendelan besar yang berisi 10 ikat tembakau rajang kering yang siap dikonsumsi. Petani menamai ikatan kecil itu dengan istilah tampang, jadi dalam setiap godor ada 10 tampang tembakau.

“Tahun ini per godor harganya antara Rp 200 ribu sampai Rp 220 ribu. Ini adalah harga tertinggi. Tahun sebelumnya antara Rp 130 ribu hingga Rp 150 ribu per godor. Kami menjualnya ke pedagang pengepul,” ujarnya.

pekerja-tembakauNiTdy.jpgSeorang pekerja saat menjarang tembakau jenis lokal yang telah dirajang, di Dusun Kedung Sumur, Desa Jamberaum, Kecamatan Puger, Jember, Jawa Timur. (Foto: Mahrus/TIMESIndonesia)

Menurut dia, petani tembakau lokal jarang merugi. Karena pedagang pengepul tak bisa mempermainkan harga seenaknya. Dalam penentuan harga, posisi petani memiliki nilai tawar yang tinggi, karena tembakaunya memang khas dan tak ditemukan di daerah lain di Jember.

“Kalau harganya murah, petani akan menimbun tembakau itu sampai barang dipasaran mulai langka. Sebab tembakau ini bisa ditimbun sampai satu tahun. Bahkan kalau cara menyimpannya bagus bisa tahan sampai dua tahun,” tuturnya.

Petani juga tak ambil pusing mengenai kenaikan harga rokok produksi pabrik. Bahkan jika harganya sampai Rp 50 ribu perbungkus sebagaimana isu yang bergulir, harga tembakau jenis lokal ini diyakini tak terpengaruh, karena tak tergantung kebutuhan dan permintaan pabrik.

“Disinilah kelebihan tembakau lokal ini, jadi pedagang tak bisa mempermainkan harga seenaknya,” imbuhnya.

Mengenai keuntungan petani, Sutrisno memberi gambaran, dalam setiap hektar, petani memerlukan biaya antara Rp 20 juta hingga Rp 25 juta. Nilai itu adalah total biaya produksi mulai dari sewa lahan, biaya bibit, pupuk dan ongkos pekerja.

Sementara jika tanaman bagus, petani bisa mendapatkan antara Rp 50 juta hingga Rp 60 juta per hektar. Masa tanam hingga pengolahan paska panen, petani membutuhkan waktu selama 4 bulan.

“Hitungannya, dalam setiap hektar petani bisa mendapatkan 400 godor lebih. Dengan harga Rp 130 ribu saja petani bisa mendapatkan lebih dari Rp 52 juta,” jelasnya.

Meski begitu, cuaca masih menjadi kendala utama bagi petani. Mahalnya harga tembakau lokal tahun ini, salah satunya dipicu karena petani banyak yang gagal tanam akibat curah hujan yang tinggi.

Meneruskan Tradisi

Bapak dua anak ini mengatakan, ada dua jenis tembakau lokal yang ditanam petani di Desa Jambearum, Kecamatan Puger, yakni tembakau jenis Janiman Petok dan Janiman Kul. Sutrisno tak bisa menjelaskan jenis kedua tembakau itu, karena petani mereproduksi sendiri pembibitannya secara tradisional yang telah dilakukan sejak generasi sebelumnya.

“Ini adalah jenis tembakau yang ditanam secara turun temurun sejak saya belum lahir, mungkin sebelum tahun 1970-an sudah ada,” katanya.

Pria berusia 40 tahun ini menyebut, untuk perawatan dan pengolahan paska panen, tembakau jenis ini lebih mudah bila dibandingkan tembakau pabrikan. Biayanya juga lebih murah, karena malah lebih bagus bila menggunakan pupuk kandang.

“Jika tak ada serangan ulat, petani tidak perlu menggunakan pestisida. Cukup pupuk kandang dan pupuk mutiara,” ucapnya.

Darmo, petani lainnya menuturkan, sebenarnya tembakau jenis ini nyaris sama dengan tembakau jenis rajang rengganis pada umumnya. Mulai dari perawatan hingga pengolahan paska panen. Bedanya terletak pada pemasaran, antara permintaan pabrikan dan konsumsi lokal.

“Tembakau lokal ini biasanya dikonsumsi dengan cara dilinting sendiri dengan menggunakan kertas rokok dan bumbu cengkeh. Di daerah pedesaan konsumsi rokok linting sudah lumrah, warga sini menyebutnya tingwe alias nglinting dewe (melinting sendiri),” ujarnya.

Di Jember, sedikitnya ada empat jenis tembakau pabrikan yang ditanam petani, diantaranya tembakau naa oogst, kasturi, rajang rengganis, dan tembakau white barley. Semua jenis tembakau ini dibeli oleh pabrikan, sehingga pasarnya tergantung permintaan dan kebutuhan pabrik.

Bahkan pada 2015 kemarin, nyaris semua harga tembakau pabrikan jatuh. Petani banyak yang merugi akibat anjloknya harga tersebut. Aktivitas vulkanik Gunung Raung menjadi salah satu alasan pedagang untuk membeli dengan harga murah, dalihnya tembakau petani terpapar abu gunung.

Masa tanam 2015 lalu, untuk tembakau jenis Besuki Naa Oogst Tanam Awal (Besnota) harganya anjlok antara Rp 300 ribu hingga Rp 500 per kuintal. Padahal harga standar petani mendapatkan untung adalah Rp 5 juta per kuintal. Sementara tembakau jenis rajang rengganis, harganya antara Rp 18 ribu hingga Rp 20 ribu per kilogram.

“Untuk rajang rengganis standar harga petani untung itu Rp 25 ribu per kilogram. Itupun jika tanah sendiri bukan tanah sewa. Jika tanah sewa, minimal harus dibeli Rp 34 ribu perkilogramnya, baru petani untung,” kata Ketua Asosiasi Petani Tembakau Rajang Rengganis (APTRR) Jember, Senandianto, kepada TIMESIndonesia, kemarin. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES