Indonesia Positif

Merajut Perbedaan Lewat Senar-Senar Dawai

Selasa, 09 Agustus 2016 - 17:14 | 211.25k
Festival Dawai Nusantara (Foto: jogjaupdate)
Festival Dawai Nusantara (Foto: jogjaupdate)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Indonesia boleh dikata sebagai negara dengan jumlah instrumen musik terbanyak di dunia. Bayangkan, setiap daerah memiliki instrumen musik yang tipikal dan berbeda antar satu dengan yang lain.

Namun kita seringkali luput dalam memotret keragaman itu sebagai sebuah kekayaan bangsa yang patut untuk dibanggakan. Karenanya, banyak instrumen musik hanya menjadi pajangan di museum sebab sudah tak ada lagi musisi yang mampu memainkannya.

Beranjak dari hal tersebut, Festival Dawai Nusantara untuk yang kedua kalinya akan digelar di Taman Krida Budaya Malang pada 12-14 Agustus 2016. Festival ini hendak memetakan sekaligus merekam dan mendokumentasikan keragaman bunyi dawai yang ada di nusantara. Keunikan instrumen dawai yang terbentang di pulau-pulau Indonesia tidak hanya sebatas dalam konstruksi organoliginya, namun juga pada nada dan bunyinya.

Itulah yang membedakan musik Indonesia dengan musik lain di dunia, terutama musik Barat. Musik Barat cenderung memiliki harga mati terhadap nada. Sementara musik (dawai) di nusantara berada dalam kisaran semi absolud pitch, ada kebebasan untuk pemilihan ukuran nada secara personal.

Dengan demikian antar satu tradisi musik dawai dengan lainnya memiliki perbedaan yang tajam. Perbedaan itu adalah berkah yang menunjukkan karakter sekaligus kekuatan.

Dawai

Pemilihan instrumen dawai sebagai tema utama festival bukannya tanpa sebab. Instrumen dawai adalah jembatan dalam mempertontonkan kreativitas sekaligus lokal genius pelaku musik di Nusantara.

Di Jawa kita bisa melihat instrumen rebab dan siter dalam gamelan, di Makassar ada kacaping dan sinrili, di Sunda ada kecapi, di Nusa Tenggara ada Sasando, di Betawi ada teyang, di Suku Dayak ada sapek, dan lain sebagainya. Semua hidup dan bertahan di bumi Indonesia.

Dendang yang dinyanyikan biasanya berkisah tentang kehidupan tradisi, alam, doa dan cinta kasih. Instrumen dawai menemani masyarakat Indonesia melintas zaman. Berupaya menjadi simpul yang mengingatkan tentang siapa dan di mana kita hidup. Instrumen dawai bukan semata senar yang dipetik dan digesek. Nada-nadanya berkisah.

Pertemuan antar tradisi musik dawai di Nusantara mungkin baru pertama kali terjadi dalam Festival Dawai di Malang. Oleh karena itu, setidaknya di hari itu kita masih bisa menjadi saksi tentang keindahan musik tradisi di Indonesia.

Lewat musik dawai, kita menelisik kembali arti keindonesiaan yang dewasa ini mulai bias. Musik melukiskan tentang anggunnya sebuah perbedaan. Ia mengalun untuk saling mengisi dan memberi warna bagi kebhinekaan negeri ini. Kita bisa melihat bagaimana musik dawai di Makassar bersanding dengan pantun berisi kritik dan nasihat hidup bagi manusianya.

Sementara di Suku Dayak, musik dawai menemani prosesi-prosesi ritual dan upacara sakral. Di Jawa, kita masih menemui ibu-ibu pengamen jalanan berdendang di warung makan, berpakaian kebaya sambil memetik siter dengan lincah. Lagu-lagunya campur sari berlaras pelog dan slendro, menambah suasana makan lebih riuh dan menyenangkan.

Padahal, memainkan istrumen dawai tidaklah semudah membalik telapak tangan. Dibutuhkan kemampuan, ketrampilan, dan lebih penting lagi kemauan. Namun generasi kini lebih senang ujuk kemampuan dalam memetik gitar dan menggesek biola. Instrumen dawai Nusantara kalah pamor.

Sekolah-sekolah musik tumbuh subur, namun hanya sedikit yang mengambil tradisi sebagai pijakan. Upaya konservatif tak sebanding dengan tuntutan zaman yang mengharuskan temuan warna dan ujud baru. Musik-musik tradisi kemudian hanya mampu bertahan tanpa mampu melawan. Kisah kematian musik tradisi, tak terkecuali musik dawai, sedang diberlangsungkan.

Mungkin kita tak akan meratap sedih. Tapi ada sebuah jejak yang hilang, tentang pertautan sejarah, peradaban, kearifan lokal dan jati diri. Dengan demikian, mempertahankan musik dawai di Nusantara menjadi upaya melawan ketrasingan budaya di negeri sendiri.

Festival Musik Dawai menjadi gelaran sederhana dengan itikad besar. Mengumpulkan kekayaan musik dawai di Nusantara untuk tak sekadar bermain dan berkolaborasi mempertontonkan kebolehan musikal, namun juga berdiskusi untuk merumuskan nasib hidup musik itu ke depan. Adalah Joko S Gombloh (etnomusikolog), Sutanto Mendut (budayawan), serta Irwansyah Harahap (musisi) yang berhasil menjembatani diskusi dengan temuan-temuan yang patut menjadi rekomendasi.

Festival tak hanya berlangsung dengan segala kisah tentang musik dawai di Indonesia. Guna menambah cakrawala dan wawasan musikal, beberapa instrumen musik dawai dari negara tetangga juga dipamerkan seperti India, Tiongkok, Jepang serta Amerika dan Afrika.

Ini penting sebagai upaya memposisikan musik dawai Indonesia di mata dunia. Sejauh mana musik dawai di Indonesia memberi sumbangan berarti dalam kehidupan budaya dan peradaban dapat terbaca dan diidentifikasi dari festival itu.

Gelaran Festival Dawai Nusantara adalah sebuah momentum langka yang pernah terjadi. Selama ini, dalam konteks musik tradisi, setidaknya sudah ada beberapa festival yang mengambil tema khusus seperti musik bambu, gamelan dan perkusi.

Oleh karena itu, kehadiran festival dawai menyambung benang merah dalam semangat merekonstruksi dan mengembangkan kekayaan musik tanah air. Harapanya, festival itu tak berhenti sebagai tontonan, lalu hilang tak berbekas dan terlupakan seiring waktu.

Namun ada jejak yang patut untuk menjadi koreksi, perenungan dan tidak lanjut. Menyadarkan kita tentang arti penting kehadiran musik dawai di tengah-tengah kehidupan. Seniman hanya seorang pelaku musik, tidak lebih. Kehadirannya akan bermakna jika diberi kesempatan untuk tampil secara lebih terbuka dengan kreativitas dan kesanggupan melahirkan karya-karya baru.

Kesempatan, harapan dan cita-cita itu menjadi tanggungjawab kita bersama. Festival dawai dengan demikian hanya menjadi palang pintu pertama dalam semangat dan cita-cita luhur mempertahankan sekaligus memperkenalkan ulang musik dawai pada publik. Selanjutnya, dibutuhkan gayung yang bersambut untuk tak henti berbuat bagi kelestarian musik tradisi di Indonesia.

Tentu semangat itu akan menjadi lebih semarak dan indah jika pemerintah turut terlibat dalam gerakan yang luhur itu. Walaupun kita juga patut pesimis akan kehadiran pemerintah di tengah misi budaya yang tak membawa untung ekonomis. Tak mengherankan jika keterlibatan dalam festival dawai membutuhkan keiklasan dan kerelaan diri.

Festival ini bukan untuk ajang meraih pamrih. Namun semata wujud ketulusan atas kecintaan dan kebanggaan pada musik tradisi di Indonesia. Jika bukan kita, siapa lagi. Musik dawai dengan karakteristiknya yang beragam adalah capaian monumental seniman Indonesia. Nada-nadanya akan tetap mengalun dengan kerelaan kita untuk sedikit memberi ruang di telinga. (*)

* Aris Setiawan, Etnomusikolog, Pengajar di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Solo

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES