Peristiwa Nasional

PBNU Menilai Tarawih Superkilat Abaikan Substansi

Jumat, 10 Juni 2016 - 13:08 | 62.36k
KH Miftahul Achyar, Wakil Rais Am PBNU (Foto: liputan6)
KH Miftahul Achyar, Wakil Rais Am PBNU (Foto: liputan6)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Praktik shalat tarawih superkilat yang dilaksanakan salah satu pondok pesantren di Kabupaten Blitar, Jawa Timur mengundang keprihatinan Nahdlatul Ulama (NU). Pasalnya, praktik tersebut justru dinilai mengabaikan substansi tarawih itu sendiri.

Dari rilis yang diterima TIMESINDONESIA, KH Miftahul Achyar, Wakil Rais Am PBNU menyatakan jika secara bahasa, kata 'tarawih' merupakan bentuk plural (jamak) dari kata 'tarwihah' yang artinya 'istirahat'.

"Dalam praktik yang dicontohkan salafus shalih (generasi terdahulu umat Islam), para jamaah mengambil jeda setiap empat rakaat (dua kali salam). Waktu jeda tersebut diambil setelah mereka melakukan shalat yang cukup panjang dalam empat rakaat tersebut," tulisnya.

Saat jeda atau rehat sejenak itu pun diisi beragam kegiatan, seperti shalat dan membaca al-Quran, setelah para jamaah melaksanakan shalat dengan durasi yang cukup panjang. Demikianlah tradisi Qiyamul Lail yg dipraktikkan Nabi SAW dan para sahabat.

Tujuan shalat sendiri adalah untuk mengingat Allah SWT, sebagaimana firman-Nya di Surat Thaha ayat 14 yang artinya 'Dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku'. Karena itulah shalat yang baik harusnya tak menghilangkan tuma'ninah (berhenti sejenak) dalam tiap gerakannya - tidak tergesa-gesa, apalagi dilakukan dengan 'gerakan superkilat'.

Dalam hadist yang diriwayatkan At-Tirmidzi dan An-Nasa'i dari Al-Fadl bin Abbas, Rasulullah SAW bersabda 'Shalat itu haruslah engkau (dalam keadaan) tenang, merendahkan diri, mendekatkan diri, meratap, menyesali dosa-dosa, dan engkau letakkan kedua tanganmu lalu kau ucapkan 'Wahai Allah, Wahai Allah' . Barang siapa yang tidak melalukan, maka shalatnya itu kurang'.

"Nah, jika kita lihat rekaman video tarawih superkilat yang beredar, tampak bahwa tidak ada ketenangan (tuma'ninah) sama sekali. Itu jauh dari tarawih secara definisi," imbuh KH Miftahul Achyar.

Menurutnya, para pelaku tarawih superkilat salah memahami kitab rujukannya. Memang tuma'ninah dalam i'tidal dan duduk di antara dua sujud (julus bayna sajdatain) terdapat perbedaan pendapat di dalam Madzhab Syafii.

Tapi tuma'ninah dalam ruku' dan sujud, ulama Syafi'iyah sepakat bahwa itu merupakan rukun yang bersifat wajib, baik dalam shalat fardlu maupun shalat sunnah. Apalagi ini adalah shalat tarawih yang makna dasarnya adalah istirahat. Jadi, menurut fiqih Syafi'iyah, hal itu tidak dibenarkan karena tanpa tuma'ninah dan menghilangkan makna tarawih.

Mengingat praktik tersebut sudah menjadi perbincangan yang cukup mengganggu (terutama di dunia maya), PBNU berharap segera ada pendekatan dari PWNU Jatim kepada pengasuh pondok pesantren terkait. "Banyaknya  jamaah shalat memang bagus. Namun, bila sampai merusak nilai shalat, jadinya ya tidak bagus," pungkasnya. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Khoirul Anwar
Publisher : Dhian Mega
Sumber : TIMES Indonesia

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES