Wisata Bondowoso Republik Kopi

Tradisi “Nginduh”, Hangatkan Badan Sembari Minum Kopi di Lereng Ijen

Sabtu, 14 Mei 2016 - 20:08 | 313.92k
Smokdin (kiri) sedang Nginduh bersama kerabatnya di depan tungku yang biasa disebut tomang di Desa Jampit, Kecamatan Sempol, Bondowoso, Jawa Timur. (Foto : Widarsa /BondowosoTIMES)
Smokdin (kiri) sedang Nginduh bersama kerabatnya di depan tungku yang biasa disebut tomang di Desa Jampit, Kecamatan Sempol, Bondowoso, Jawa Timur. (Foto : Widarsa /BondowosoTIMES)
FOKUS

Bondowoso Republik Kopi

TIMESINDONESIA, BONDOWOSO – “Ini namanya Nginduh,” kata Smokdin, salah seorang warga Desa Jampit, Kecamatan Sempol, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, saat ditanya nama tradisi menghangatkan diri sembari minum kopi, di depan tungku yang hanya bisa ditemui di desa – desa di bawah kaki Gunung Ijen.

Sejak lama, mereka punya kebiasaan menghangatkan diri di depan tungku api berbentuk persegi, yang terbuat dari tumpukan batu bata dan semen, yang diletakkan di dapur setiap rumah.

Tak heran, mengingat suhu dingin di wilayah kaki Ijen yang bisa mencapai 2 derajat celcius, utamanya saat malam hari.

Smokdin, salah satu dari 11.000 warga yang tinggal tepat di bawah kaki Gunung Ijen dan Raung bercerita, Nginduh merupakan salah satu tradisi yang sampai saat ini masih dijaga dan dilestarikan warga.

Itu sebabnya, tak perlu kaget saat berkunjung ke pemukiman di bawah kaki Ijen, karena pengunjung akan langsung diajak menuju ke dapur.

nginduh-dua-ika-kaliaN0Etp.jpg

Warga sedang Nginduh sembari bercengkrama di Desa Jampit, Kecamatan Sempol, Bondowoso, Jawa Timur. (Foto : Widarsa /BondowosoTIMES)

Meski ada ruang tamu, setiap tamu yang datang pasti akan dijamu terlebih dahulu di depan tungku. Bahkan dari banyak kunjungan, ruang tamu warga sangat jarang digunakan.

 “Kalau ndak diajak Nginduh ya aneh. Ini bentuk penghormatan kepada tamu, kalau di ruang depan pasti kedinginan,” kata Smokdin dengan logat Maduranya yang kental saat menerima kunjungan BondowosoTIMES, beberapa waktu lalu.

Yang tak bisa dipisahkan dari tradisi ini adalah kopi. Nginduh alias menghangatkan diri didepan tungku yang kerap dilakukan warga lereng Ijen sesaat setelah matahari tenggelam, pasti lekat dengan sajian kopi khas Bondowoso.

Nginduh tak lengkap jika tak ada kopi yang menemani,” beber Smokdin.

Kopi asli dari kebun di bawah lereng ijen merupakan minuman wajib saat Nginduh. Menyeruput kopi, sembari ngobrol ringan hingga larut malam menjelang padamnya listrik sudah menjadi kebiasaan hampir semua warga.

Kopi yang disajikan saat Nginduh juga bukan sembarang kopi. Mayoritas kopi yang disajikan oleh warga lereng Ijen kepada tamu adalah kopi hasil olahan mereka sendiri.

Biasanya, mereka mendapatkan kopi dari PTPN XII atau memetik dari tanaman milik sendiri yang tak seberapa luas.

Semua proses mulai memetik, menjemur, menyangrai, menumbuk kopi dengan lesung atau alat tumbuk tradisional, hingga menyajikan dalam gelas, semua diolah sendiri. Itu mengapa, kopi yang disuguhkan warga lereng Ijen seperti punya daya magis yang berbeda dari kopi yang biasa ditemui di warung atau bahkan restoran kopi ala barat yang terkenal.

“Iya kopinya bikin sendiri, ditumbuk disana,” kata Smokdin sembari menunjuk ke arah lesung, yakni alat penumbuk kopi yang terbuat dari batang kayu yang sudah diberi lubang ditengah.

Smokdin mengatakan, disetiap rumah pasti tersedia kopi bubuk buatan sendiri. Kopi itu mereka sediakan untuk sajian kala Nginduh.

Biasanya, mereka menyimpan banyak kopi yang belum disangrai untuk stok selama setahun sebelum panen kopi tiba masanya.

Seperti yang sudah diketahui, kopi yang berasal dari lereng pegunungan Ijen ini memang istimewa. Cita rasanya yang khas ditambah proses pengolahan kopi yang baik, menjadikan kopi – kopi dari kawasan ini menyebar ke seantero dunia.

Suasana dingin yang menggigit kulit, akan mulai menghangat kala kopi disajikan. Kepulan asap disertai wangi kopi yang khas langsung menyeruak dari gelas yang baru saja dituang air mendidih.

Cahaya temaram yang berasal dari tungku ditambah suara gemeretak kayu bakar serta suasana sunyi khas desa di malam hari, menambah eksotis suasana Nginduh.

Di banyak dusun di bawah kaki Ijen, ngopi sembari Nginduh lebih utama dibanding menonton televisi. Mereka lebih senang bercengkrama berlama – lama sembari menikmati kopi di depan tungku, ketimbang melihat hiruk pikuk yang disajikan dalam tayangan televisi.

Nginduh diakui sebagian besar warga sebagai rutinitas wajib setiap hari. Selain karena memelihara tradisi yang sudah ada sejak lama, ini tak lain karena memang masih banyak dusun di bawah kaki Ijen yang belum tersentuh listik.

Penerangan mereka yang bersumber dari mesin diesel, hanya menyala dari pukul 17.00 hingga 22.00 WIB. Banyak dusun juga yang tak bisa menerima sinyal telepon sehingga praktis komunikasi terputus saat berkunjung ke beberapa desa di bawah Ijen.

Uniknya lagi, tradisi  Nginduh ini juga turut andil dalam menentukan tatanan rumah warga lereng Ijen. Dapur warga di bawah kaki pegunungan Ijen, diatur layaknya ruang tamu yang nyaman.

Tak sekedar tempat memasak, di dapur akan ada dipan yang terbuat dari bambu. Bahkan tak sedikit yang meletakkan sofa mereka di dapur.

Smokdin bahkan meletakkan sebuah ranjang tidur tak jauh dari tungku. Kalau dingin tak tertahan, Smokdin mengaku lebih suka tidur di ranjang yang berdekatan dengan tungku.

Tak ketinggalan tentu saja kursi kecil terbuat dari potongan kayu yang digunakan untuk duduk di depan tungku.

Sebagian besar masyarakat masih menganggap tak sopan jika tidak mengajak tamu untuk Nginduh di dapur. Lazimnya masyarakat kota menjamu tamu di ruang tamu, namun lain halnya dengan masyarakat pegunungan Ijen yang menjamu tamu di dapur dan di hadapan tungku.

nginduh-satu-ikal-kalin8mpy.jpg

Wujud tomang, atau tungku api yang biasa digunakan masyarakat lereng Ijen untuk memasak sekaligus menghangatkan diri. (Foto : Widarsa /BondowosoTIMES)

Tungku yang disebut masyarakat dengan nama tomang sendiri ukurannya tak terlalu besar. Ukurannya kira – kira 90 x 60 cm, dengan satu lubang di depan sebagai tempat meletakkan kayu bakar. Ada pula ukuran yang lebih besar, tergantung keinginan sang empunya rumah.

Sementara diatasnya terdapat lubang yang berfungsi sebagai jalan keluar api yang biasa digunakan untuk memasak.

Saat ditanya mengapa tidak memasak pakai kompor gas saja, Nursasih, istri Smokdin mengaku tak terbiasa.

Selain itu, rasa masakan yang dimasak menggunakan tungku menurutnya berbeda jauh. Bahkan kompor serta gas elpiji berukuran 3 kg yang merupakan bantuan dari Pemerintah milik Nursasih, masih terlihat baru dan tersimpan rapih.

“Masakan akan lebih enak kalau dimasak pakai kayu bakar. Kompor itu hanya dipakai kalau buru – buru atau saat tertentu saja. Jarang sekali, enak di tomang,” ujar Nursasih sembari membetulkan letak kayu bakar di tungku miliknya.

Camat Sempol, Tjagar Alam mengakui, tradisi ini masih bisa ditemui di hampir setiap rumah yang terletak di bawah kaki Ijen. Menurutnya, tradisi ini juga yang wajib dicoba setiap pengunjung yang datang dan menginap di pemukiman warga lereng Ijen.

“Jika berkunjung dan menginap di rumah warga lereng Gunung Ijen, tidak afdhol kalau tidak Nginduh,” ungkap Tjagar.

Tjagar menilai, minum kopi di restoran atau hotel tentu saja hal yang lumrah. Tapi Nginduh dan ngopi hingga larut malam hanya bisa ditemui di pemukiman warga lereng Ijen.

nginduh-tiga-ika-kaliFnUd.jpg

Warga sedang Nginduh sembari bercengkrama di Desa Jampit, Kecamatan Sempol, Bondowoso, Jawa Timur. (Foto : Widarsa /BondowosoTIMES)

Salah seorang wisatawan asal Malang, Dyah Ayu Pitaloka, berkesempatan  merasakan sensasi Nginduh. Tak sekedar tradisi, menurut gadis yang biasa disapa Pipit ini, tradisi nginduh juga terbukti mempererat silaturahmi antara warga di kaki Gunung Ijen.

“Setiap bertamu ke rumah warga, selalu terlihat keakraban mereka di depan tungku. Bercerita sambil minum kopi ditengah suasana dingin. Itu momen yang langka ditemui saat ini,” ujar Pipit.

Hal serupa disampaikan Muhammad Rizky, yang kebetulan menginap di rumah salah seorang warga. Rizky mengaku terkesan dengan keramahan yang ditampilkan warga lereng Ijen.

“Mereka menganggap tamu yang datang seperti raja. Meski sajian yang disuguhnya hanya kopi dan kentang rebus, rasanya susah digambarkan dengan kata – kata,” kisahnya.

Nah, jika ada kesempatan berkunjung ke desa dibawah lereng pegunungan Ijen Bondowoso, jangan lewatkan tradisi Nginduh ini. Tentu saja ditemani secangkir kopi yang sudah mendunia itu. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Ahmad Sukmana

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES