Ekonomi

Standardisasi Harga, Kunci Penyelamatan Produk Petani

Selasa, 10 Mei 2016 - 09:36 | 88.09k
BUAH PENGALAMAN: Kustomo lahir dan besar di lingkungan petani apel sehingga memahami denyut kehidupan petani. (Foto: Nurliana Ulfa/BatuTIMES
BUAH PENGALAMAN: Kustomo lahir dan besar di lingkungan petani apel sehingga memahami denyut kehidupan petani. (Foto: Nurliana Ulfa/BatuTIMES

TIMESINDONESIA, BATU – Terjadinya over produksi komoditas pertanian di Kota Batu seringkali membuat harga jual produk petani turun drastis. Jalan keluar harus dicari agar petani tidak selalu mengalami kesengsaraan ketika harga jatuh.

Menurut Kustomo, mantan ketua gabungan kelompok tani apel Kota Batu 2008 hingga 2013, peran pemerintah sangat vital. Pemerintah bisa menolong petani saat harga jatuh. Yaitu dengan cara standardisasi harga produk pertanian.

”Standardisasi harga sangat perlu. Karena selama ini banyak produk petani yang dibeli dengan harga sangat murah. Terutama bila terjadi over produksi,” tandas alumni S2 Hukum Tata Negara Universitas Merdeka Malang ini.

Selain itu,menurut bapak 50 tahun ini, standarisasi harga bisa menepis kebiasaan para pedagang yang sering membeli produk petani dengan harga yang sangat murah dan bebas mengatur harga di pasar.

Dengan harga produk pertanian yang diserahkan ke pasar, maka petani tidak bisa menentukan harga. Mereka manut berapa pun harga beli yang ditawarkan pedagang.

Dan kondisi over produksi, membuat petani mau tidak mau menjual hasil pertaniannya dengan harga murah.

Dari situ, pemerintah memiliki kewenangan untuk menstandarkan harga produk pertanian untuk melindungi petani.

Kustomo mengutarakan, pemerintah bisa melakukan standardisasi harga produk pertanian dengan berbagai cara. Tentunya tetap bekerjasama dengan pemerintah di kota-kota lain yang menjadi sasaran distribusi produk pertanian dari Kota Batu.

Misalnya dengan memberikan label khusus yang resmi dari pemerintah di setiap produk yang dikirim. ”Sehingga bagi produk yang tanpa label akan ditolak oleh kota lain tersebut,” imbuh pria yang tinggal di Dusun Gintung Desa Bulukerto Kecamatan Bumiaji Kota Batu ini.

Ketika terjadi over produksi, maka pemerintah juga harus bersedia membeli terlebih dahulu produk petani.

”Nah, dalam hal ini, pemerintah perlu punya cold storage atau ruang pendingin untuk menampung buah atau sayur produk pertanian itu supaya tidak rusak,” papar alumni SMAN 1 Batu ini.

Menurutnya, masing-masing desa minimal harus memiliki satu cold storage. Satu cold storage ini mampu menampung produk pertanian dengan skala ton.

Saat terjadi kekurangan stok sebuah komoditi, maka produk yang tersimpan di dalam cold storage tersebut bisa dikeluarkan.

Sehingga dengan cara ini standardisasi harga akan mudah untuk diterapkan. Pemerintah pun tidak rugi. Sebab hanya membeli produk petani saat terjadi over produksi. Setelah kebutuhan produk di pasar stabil, pemerintah bisa menjual produk pertanian tersebut.

Agar tidak terjadi monopoli, maka dalam pembelian produk pertanian juga harus melibatkan pedagang.

”Namun pedagang harus mau berpikir secara perusahaan. Artinya perusahaan tersebut terdiri dari pemerintah, petani, dan pedagang. Semua bekerjasama, saling mengungtungkan, tidak menangnya sendiri,” ungkap suami Ning Mardiana ini.

Dengan begitu, bapak tiga anak ini berharap petani tidak lagi merugi terus menerus. Terlebih, 75 persen penduduk di Kota Batu adalah petani. Menyelamatkan petani, menurut Kustomo, berarti juga menyelamatkan masyarakat Kota Batu.(*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement




TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES