Peristiwa

Jaranan Dor, Seni Kuda Lumping Tanpa Gemerlap dan Make Up

Jumat, 12 Februari 2016 - 21:51 | 216.48k
MASIH ASLI : Empat orang pemain sedang menarikan tari jaranan dor di Desa Punten Kota Batu, Jumat (12/2/2016). (foto by Nurliana Ulfa/batutimes.com)
MASIH ASLI : Empat orang pemain sedang menarikan tari jaranan dor di Desa Punten Kota Batu, Jumat (12/2/2016). (foto by Nurliana Ulfa/batutimes.com)

TIMESINDONESIA, BATU – Jaranan atau kuda lumping yang original masih bisa ditemukan di Kota Batu. Para seniman menyebutnya sebagai jaranan Jowo atau jaranan dor.

Kesenian tari jaranan ini tetap eksis di tengah maraknya kolaborasi jaranan dengan seni lainnya. Misalnya kolaborasi jaranan dengan bantengan, atau pertunjukan jaranan kontemporer.

Agus Tri Wahyudi, pemilik sanggar seni Gadung Melati di Desa Punten Kecamatan Bumiaji Kota Batu mengatakan, jaranan Jowo atau jaranan dor berbeda. Kesenian ini memiliki beberapa perbedaan dengan jaranan kontemporer.

”Kalau jaranan Jowo alat musiknya jauh lebih sedikit, yakni kendang, angklung, dan terompet,” jelas Agus.

Musik pengiringnya juga tanpa menggunakan nyanyian. Hanya teriakan e.. o.. e.. ya... Teriakan itu  bersahutan dari pemusik untuk membangkitkan semangat penari.

Sedangkan jaranan kontemporer menggunakan alat musik yang lebih banyak seperti bonang, saron, dan gong, terkadang ditambah musik elekton.

Dandanan para penari jaranan Jowo juga berbeda. Mereka tidak menggunakan make up dan kostum yang gemerlap seperti pada jaranan kontemporer. Mereka hanya mengenakan kaos oblong, jarit, dan udeng.

Gerakan tarianya pun lebih lincah. Banyak memainkan cambuk dan berloncatan dengan atraktif.

Biasanya penari berjumlah empat atau enam orang. Semuanya laki-laki. Di akhir tarian, mereka saling bergandengan dua orang untuk melakukan gerakan berputar. Masing-masing memegang kuda satu sama lain.

Ketika putaran mereka semakin kencang dan terjatuh ke lantai, salah satu ataupun keduanya akan mengalami kerasukan atau yang sering disebut kalap (trance).

Pertunjukan jaranan Jowo ini hanya dipentaskan oleh beberapa orang yang mengerti tentang pakem gerakan jaranan Jowo.

Seperti halnya Agus. Pria berusia 54 tahun tersebut ingin terus mementaskan jaranan Jowo sebagai upaya agar jaranan kuno ini tidak punah. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement




TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES