Kopi TIMES

Negosiasi Otoritas Keagamaan dan Teknologi Digital

Senin, 29 April 2024 - 13:17 | 20.56k
Muhammad Hafizh Renaldi, S.Sos, Magister Interdisciplinary Islamic Studies UIN Sunan Kalijaga.
Muhammad Hafizh Renaldi, S.Sos, Magister Interdisciplinary Islamic Studies UIN Sunan Kalijaga.

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Pada era globalisasi saat ini, internet menjadi fasilitator perubahan yang penting pada struktur pribadi dan organisasi tempat para pemimpin agama beroperasi. Mereka harus mampu untuk melakukan negosiasi ketegangan yang terjadi dan mengelola representasi online dengan lebih ketat. Internet sangat menyoroti paradoks mengenai otoritas online keagamaan. Hal ini menunjukkan bahwa Internet dapat secara bersamaan memberdayakan sekaligus menantang bentuk otoritas keagamaan baru dan tradisional. 

Ada istilah yang muncul di era modern ini, yakni “kita adalah apa yang kita instal”, artinya keaslian dan identitas religius seseorang dapat dilihat dari aplikasi apa yang ada pada telepon pintar orang tersebut. Teknologi internet mampu untuk menyediakan sumber daya online agar membangun bentuk–bentuk baru identitas keagamaan yang bisa jadi terlihat tidak autentik, karena lebih mendorong personalisasi atas identitas keagamaan tradisional atau institusional.

Dalam konteks media baru, definisi tradisional perlu dilakukan negosiasi ulang  yang lebih dalam. Sebab ketika internet sebagai platform negosiasi agama, maka realitas akan berubah akibat digitalisasi agama dan spiritualitas. 

Transformasi Agama di Ruang Publik 

Pada ranah agama Islam, terjadi pergeseran yang cukup signifikan dalam hal mimbar keagamaan, di masa–masa awal reformasi pengisi ceramah bukan lagi kyai atau ustadz melainkan professor. Pengisinya pun terlihat lebih atraktif dengan adanya sesi dialog, seperti Cak Nur, Nurkholis Majid dkk. Kemudian dengan kondisi yang ada, melahirkan istilah yang disebut dakwahtaiment atau yang biasa dikenal dengan istilah tuntunan dan tontonan. 

Beragam cara dilakukan oleh penceramah untuk menyampaikan pesan agamanya. Namun, bisa saja dengan hal demikian seketika agama menjadi kabur ketika para penceramah yang ada itu melakukan cara yang sama untuk menyampaikan agama, meskipun yang disampaikan sesuai dengan agama masing–masing. Benang merah dari persoalan ini, penyampai pesan agama harus mampu mengemas pesan–pesan keagamaan yang sejalur dengan aspirasi masyarakat luas.

Dewasa ini, perbincangan terhadap agama terkadang hanya sampai pada masalah perbedaan ajaran dan perbedaan tafsir. Padahal ada hal lain dan harus diperbincangkan, yakni perkembangan teknologi, sebab hal ini mampu berpengaruh terhadap cara kita beragama, cara kita belajar tentang agama dan cara kita berhubungan dengan pemeluk agama. Posisi agama akan tetap, namun instrument teknologi yang berubah serta menyebarkannya di ruang publik. 

Pada saat negara–negara barat memunculkan wacana untuk menghilangkan agama dari ranah publik, alih–alih agama itu hilang, justru ia muncul sebagai gerakan sosial dan menunjukkan bahwa agama bukan privatisasi tapi deprivatisasi of region. Artinya, semakin masyarakat menganggap agama masuk ke ruang privat maka semakin ia mensuplai agama ke ruang publik. 

Selain daripada itu, perubahan tradisi dari media cetak ke internet di ruang publik juga akan membuat media dituntut untuk mencari audiensnya sendiri yang lebih luas dan ketika hal ini terjadi, maka akan terus menerus terjadi persaingan pasar hingga proses ideologisasi yang tidak berhenti dari berbagai kelompok keagamaan. 

Teknologi dan Kontestasi Ideologi

Ideologisasi memiliki banyak cara dalam penyebarannya. Di tahun 2017, penelitian yang dilakukan oleh Najib Kailani dkk didapatkan bahwa terjadi pergeseran yang signifikan pada buku yang dibaca anak muda. Penelitiannya dilakukan di 16 kota dengan melihat buku apa yang tersedia dan buku apa yang paling banyak dipilih oleh generasi muda di toko buku tersebut. Didapatkan salah satu buku yang dipilih paling banyak merupakan buku dari Felix Siauw “Udah Putusin Aja”. 

Buku dari felix ini, terlihat berbeda dengan buku yang pernah ia tulis sebelumnya, dimana buku sebelumnya cukup ideologis dengan menceritakan ulang terkait Muhammad Al–Fatih. Buku “udah putusin aja!” juga terlihat simple dengan sentuhan desain grafis dan text yang sedikit. Hal ini juga menunjukkan bahwa generasi muda akan terlihat lebih bosan membaca buku yang “heavy text” dan akan lebih senang dengan buku yang ditambahkan dengan sentuhan grafis. Selain itu, disini kita bisa melihat adanya perjumpaan agama dengan pasar dan media. 

Dalam hal kontestasi ideologi, bagi anak muda yang membaca beberapa buku, awalnya tidak merasa terkait dengan ideologi manapun, sebab generasi muda akan membaca apa yang disukainya. Namun strategi yang dilakukan oleh beberapa kelompok adalah dengan menciptakan icon, ideal type sampai kepada point of references. Akan tetapi dalam hal ini juga identitas terhadap satu ideologi itu semakin cair, artinya semakin menyentuh pasar tidak bisa lagi kita identikkan masyarakat yang membaca tulisan dari tokoh gerakan tertentu dapat dikaitkan dengan ideologi tertentu. 

Landscape Audiences di Indonesia 

Audiens anak muda tidak bisa lagi dibayangkan selayaknya network society. Audiens akan sangat homogen dan memilih siapa yang akan ia tonton serta tidak bisa dianggap stabil. Audiens mempunyai selera yang beragam, termasuk konten yang menyasar dalam hal waktu tontonan. Kemampuan mengemas pesan keagamaan yang cepat (one minute booster) menjadi sangat laku di kalangan anak muda. 

Semakin bertemu dengan pasar penyebaran ideologi dan penyebaran pesan keagamaan semakin fleksibel. Semua religious authority akan menghadapi ruang kontestasi baru dan harus berpikir se–kreatif mungkin untuk mendapatkan audiens dan mempertahankan visibility di hadapan digital  market dengan itu bisa earning money, menjaga otoritas hingga menambah loyalitas followers. 

Catatan Akhir

Saat ini, agama selayaknya menu di restoran, ia tersedia dari pilihan yang soft hingga hard, dari yang persuasif tapi indoktrinatif, dari soft namun ternyata garis keras, semuanya dihadirkan. Bahkan satu individu bisa saja melakukan windows shopping dalam sehari, di pagi hari mendengarkan pesan keagamaan dari perspektif tertentu, di waktu yang lain melihat tayangan ceramah dari perspektif yang lain. 

Disisi lain juga terjadi pergerseran dari penyebutan Kyai/Ulama ke Intelektual Muslim lalu Ustadz. Hingga menimbulkan pemaknaan yang kabur. Sebab otoritas yang dimiliki penceramah tersebut tertutupi dengan cara penyampaian dan pengemasan pesan keagamaan yang disampaikan. 

Hal seperti ini bukanlah hal yang salah dan tidak bisa sepenuhnya kita  bisa pastikan, namun inilah fenomena dan landscape keagamaan yang terjadi pada kita hari ini. Pesan dan ajaran agama ditransmisikan kepada pemeluknya melalui  mediatisasi teknologi. 

***

*) Oleh : Muhammad Hafizh Renaldi, S.Sos, Magister Interdisciplinary Islamic Studies UIN Sunan Kalijaga 

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Hainorrahman
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES